Namun, perjuangan untuk meraih kemerdekaan tak mudah. Seluruh elemen rakyat bersatu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain perjuangan fisik, pendidikan juga berperan penting dalam pergerakan nasional menuju kemerdekaan melalui pemikiran kritis dan diplomasi tokoh intelektual bangsa.
Sebelum pelaksanaan Politik Etis (1902), di Indonesia sudah ada pendidikan nonformal, adat, dan adat yang sifatnya masih tradisional. Namun, semua itu masih memberikan wawasan yang terbatas kurang berorientasi ke masa depan. Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak dapat mengikuti perkembangan zaman.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Awal mula pendidikan yang diberikan bagi masyarakat pribumi oleh pemerintah Hindia-Belanda dilatarbelakangi permasalahan penyakit menular yang terjadi di Banyumas pada 1847. Kala itu, banyak penyakit menular seperti tifus, kolera, disentri, dan sebagainya yang melanda.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Hindia-Belanda memberikan pelatihan “juru suntik” bagi pemuda yang kelak akan menjadi penyuluh kesehatan di daerahnya masing-masing. Berkaca pada pengalaman di Banyumas, mulailah direncanakan pendidikan kedokteran dengan sistem pendidikan 3 tahun.
Untuk melaksanakan pendidikan tersebut dikeluarkan Surat Keputusan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1856 tertanggal 11 Mei 1856. Kepada lulusan sekolah tersebut diberikan gelar “Dokter Jawa”. Oleh karena itu sekolahnya disebut “Sekolah Dokter Jawa”.
Faktor yang semakin membuka jalan meraih kemerdekaan adalah kebijakan Politik Etis yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Politik Etis adalah “Politik Balas Budi” karena rakyat di tanah jajahan turut memberikan keuntungan bagi pemerintah kolonialisme.
Dalam trilogi Politik Etis, ada tiga hal yang diberikan kepada masyarakat pribumi. Ketiga hal tersebut adalah irigasi (pengairan), migrasi (perpindahan penduduk), dan edukasi (pendidikan). Namun, dari ketiga hal tersebut hanya pendidikan yang memiliki dampak signifikan terhadap perubahan.
Politik Etis dilaksanakan pada 1902, sehingga sejak tahun tersebut pemuda Indonesia semakin banyak yang mendapatkan pendidikan sistem Barat. Tidak hanya di bidang kedokteran yang diberikan sistem Barat, melainkan juga pengetahuan umum (ilmu bumi, sejarah, dan sebagainya) diberikan dalam pendidikan tersebut.
Walaupun pelaksanaannya tetap diskriminatif dan selektif, tetapi dampak pendidikan tersebut sangat positif bagi rakyat Indonesia. Wawasan kebangsaan dan rasa cinta Tanah Air semakin mendalam, sehingga mudah terjalin rasa persatuan dan kesatuan.
Seiring berjalannya waktu, ditambah adanya Politik Etis, Sekolah Dokter Jawa bertransformasi menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) pada awal abad ke-20. Di sinilah tempat lahirnya kaum cendekiawan yang juga melahirkan organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia pada 1908, Boedi Oetomo. Sebut saja tokoh-tokoh seperti dr Sutomo, dr Cipto Mangunkusumo, Gunawan, Suraji, Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan RT Ario Tirtokusumo.
Setelah itu, mulai banyak tokoh-tokoh yang juga peduli akan pendidikan anak bangsa. Semangat akan mengedukasi rakyat Indonesia diiringi dengan munculnya lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pendidikan seperti Sekolah Rakyat, Perguruan Taman Siswa, Pendidikan INS (lndonesisch Nederlandsche School), dan Perguruan Rakyat.
Penyelenggaraan pendidikan ini dilakukan oleh pihak swasta yang segala sesuatunya dibiayai sendiri. Tujuan dari pendidikan ini hampir sama, yaitu mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka.
Hal yang perlu dicatat pendidikan pada masa kolonial Belanda, baik yang diselenggarakan pemerintah Hindia-Belanda maupun swasta, telah menghasilkan kaum cendekiawan. Tak sedikit dari mereka yang menjadi pelopor pergerakan nasional.
Mulai dari Wahidin Sudirohusodo, dr Sutomo, dr Cipto Mangunkusumo, H Agus Salim, Ir Soekarno, Drs Moh Hatta, Moh Yamin, Sunario, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain. Tokoh-tokoh tersebut memiliki kemampuan ilmiah dan berwawasan kebangsaan yang mantap.
Lewat pendidikan, mereka juga turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Lewat pendidikan juga tokoh tersebut dibekali “senjata” yang lebih berbahaya ketimbang senapan api.
(REN)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.