PEPATAH ‘daripada hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri’ tidak berlaku bagi para pekerja migran Indonesia(PMI).Mereka lebih memilih mengadu peruntungan di negeri orang ketimbang kelaparan di negeri sendiri, baik dengan jalan ‘halal’ maupun jalan ‘haram’ alias ilegal.
 
Mengadu peruntungan ke negeri orang bukan perkara mudah meski ditempuh dengan jalan ‘halal’. Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menyiapkan segala sesuatunya demi mengadu nasib di negeri orang. Belum lagi harus meninggalkan keluarga.
 
Bila suami, dia harus meninggalkan anak dan istrinya. Bila isteri, dia harus meninggalkan anak dan suaminya. Bila masih lajang, dia harus meninggalkan orangtua tercintanya. Tak sedikit di antara mereka harus menjual ternak, kebun, sawah, kendaraan, dan aset properti lainnya. Bila modal masih kurang juga, mereka terpaksa pinjam kepada lintah darat atau calo dan oknum pengerah tenaga kerja yang memberikan ijon dengan bunga selangit sekitar 27%-30%.


Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Istillah PMI atau tenaga kerja Indonesia (TKI) secara substansi sami mawon alias sama saja. Mereka adalah warga negara Indonesia yang akan bekerja di luar negeri.
Sebutan TKI yang termuat pada UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah dicabut dengan UU Nomor 18 Tahun 2017. Perubahan regulasi inilah yang pada akhirnya memunculkan istilah PMI sehingga sebutan TKI sudah tidak lagi dipakai dalam aturan yang baru.

Dalam UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia disebutkan bahwa calon PMI adalah setiap tenaga kerja Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
 
Regulasi yang memayungi pekerja migran itu menegaskan bahwa PMI harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
 
Meski menempuh jalur sah untuk menjadi pekerja migran, tak sedikit pula kisah getir nan mengharukan menimpa mereka. Tak digaji, diperkosa, dan mengalami kekerasan fisik lainnya oleh sang majikan durjana. Beberapa di antaranya menderita kelumpuhan, kebutaan, dan bahkan meninggal dunia, baik di negeri orang maupun setibanya di Tanah Air.

 

Halaman Selanjutnya

Yang terbaru, informasi yang diluncurkan…


Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.