“Sejak dilahirkan dan diterapkannya Perda KTR, konsumen tidak pernah dilibatkan. Padahal kebijakan dan regulasi tersebut secara jelas mengatur konsumen dengan sangat ketat,” ujarnya dilansir dari Antara, Selasa, 16 Agustus 2022.
Andi menegaskan, konsumen produk tembakau memiliki tanggung jawab pada negara dalam bentuk cukai hasil tembakau (CHT) dan pajak yang disampaikan dalam PMK 192/PMK.010/2021. Menurutnya, partisipasi konsumen dalam regulasi nyaris tidak ada, dilihat dari ‘public hearing‘, penyusunan naskah akademik sampai sosialisasi.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Konsumen tidak antiregulasi. Konsumen bersedia diatur dan siap memenuhi kewajibannya, tetapi tidak sebanding dengan sumbangsih yang diberikan. Kebijakan, aturan, dan regulasi yang ditunjukan pada konsumen produk tembakau hanya menekankan pada pelarangan bukan pembatasan,” katanya.
Komisioner Ombudsman Yogyakarta Agung Sedayu menuturkan, sesuai amanah undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak konsumen, serta memberikan akses kepada publik dalam perumusan regulasi sebelum aturan tersebut resmi diterapkan. Namun, pada kenyataannya hak partisipatif publik sering terabaikan.
“Pelibatan langsung hak konsumen menjadi penting dan mendesak. Tanpa inovasi kebijakan, hak konsumen ekosistem pertembakauan hanya berakhir sekadar menjadi angka. Hak konsumen telah terabaikan dibandingkan kewajiban lewat pengenaan CHT yang telah mencapai Rp188 triliun pada tahun lalu,” tuturnya.
Agung menjelaskan, kebijakan dan pengambilan keputusan terkait regulasi dalam ekosistem pertembakauan perlu dievaluasi. Mulai dari produksi hingga konsumsi, pemenuhan hak konsumen dirasa masih kurang sehingga perlu sinergi jejaring komunikasi dan konsolidasi dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat.
“Agregasi aspirasi konsumen yang dilakukan kali ini diharapkan bisa menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang progresif dalam menerapkan strategi inovasi kebijakan ekosistem pertembakauan. Komitmen terhadap pemenuhan pelayanan publik hingga ruang konsumen, bisa dilakukan secara maksimal,” kata Agung.
Sementara itu, Anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Antonnius Fokki Ardianto, menyatakan tidak memungkiri bahwa ada regulasi baik di tingkat daerah maupun pusat yang belum mengakomodir kepentingan semua pihak. Termasuk hak konsumen.
Hal ini, menurut Fokki, karena masih lemahnya perjuangan kolektif suara konsumen itu sendiri. Pemerintah, lanjut Fokki, membutuhkan bukti nyata dalam bentuk data jumlah suara konsumen yang signifikan agar penyusunan regulasi dapat melindungi hak konsumen.
“Harus ada data yang representatif, yang menggambarkan kontribusi dan sumbangsih konsumen minimal per teritorial (daerah) agar konsumen punya daya tawar. Kebijakan harus disusun berdasarkan data dan fakta pendukung. Termasuk penerapan Perda KTR DIY yang berdampak pada konsumen,” kata Fokki.
Akademisi Universitas Sanata Dharma Antonius Budi Susilo menuturkan, lemahnya data kuantitatif dan kualitatif terkait jumlah konsumen dan produk tembakau itu sendiri membuat regulasi pengendalian tembakau semakin masif dan penuh tekanan. Dengan pendekatan masalah pembangunan, tembakau terlanjur dianggap dan disudutkan sebagai komoditas yang distigma negatif.
“Minimnya perhatian dan kesempatan yang diberikan pemerintah untuk mengembangkan manfaat komoditas tembakau secara saintifik, membuat tembakau mudah digilas isu kesehatan. Sehingga regulasi terkait pertembakauan yang ada hingga saat ini dikelilingi intervensi masalah kesehatan dan mengabaikan hak konsumen,” ujar dia.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono memaparkan, peran ekosistem pertembakauan sangat signifikan dalam pembangunan negeri ini. Tidak sedikit daerah-daerah sentra tembakau yang secara nyata telah memberikan multiplier effect perekonomian bagi kawasan sekitarnya dan bagi negara.
Hananto menuturkan, ekosistem pertembakauan adalah salah satu potret realita gotong royong. Mulai dari petani, pekerja, UMKM, peritel, industri hingga konsumen. Ia berharap pemerintah mulai melibatkan konsumen dalam setiap perumusan dan penerapan regulasi ekosistem pertembakauan.
“Pemerintah jangan melihat ekosistem ini hanya sebagai satu unsur. Ada keberlangsungan 24 juta penghidupan yang bergantung pada ekosistem ini. Termasuk peran konsumen sebagai end user yang sangat penting sebagai pengguna yang taat dalam membayarkan cukai dan pajaknya melalui setiap satu batang produk yang dibeli dan dikonsumsi,” ucapnya.
(END)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.