SURYA.CO.ID PASURUAN – Penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi sewa lapak di Pasar Desa Wonosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan terus berlanjut. Setelah memanggil sejumlah pedagang dan paguyuban pedagang, kini giliran para penyewa lapak yang diduga ilegal atau tidak sesuai aturan, juga dipanggil kepolisian.

Informasi yang berkembang, banyak stand, lapak atau kios di sana yang disewakan tetapi uang penyewaan itu tidak pernah masuk ke kas desa. Korps Bhayangkara memanggil pimpinan Bank Jatim Nongkojajar, salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyewa di salah satu stand di pasar Desa Wonosari.

Kanit Tipikor Satreskrim Polres Pasuruan, Ipda Bambang Sutejo membenarkan pemanggilan pimpinan Bank Jatim Nongkojajar untuk dimintai keterangan. “Kami pihak penyidik masih dalam tahap pendalaman dan pulbaket ke masing masing pihak yang menempati ruko, lapak, stand dan sebagainya,” kata Bambang, Senin (15/8/2022).

Bambang mengatakan, penyidik ingin mengetahui siapa yang menempati stand, lapak di pasar itu, asal usulnya seperti apa, sekaligus bukti menempati tempat itu apa. “Termasuk Bank Jatim. Kami ingin mengetahui dasar mereka menempati tempat disana itu apa, dan sebagainya. Jadi biar jelas,” paparnya.

Ia mengaku masih banyak pihak yang akan diperiksa. Menurutnya, karena jumlah (penyewa) banyak maka penyidik akan menjadwalkan pemanggilan secara bertahap.

Sekadar informasi, pemanggilan para pedagang ini berkaitan dengan laporan yang dilayangkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Wonosari. BPD melaporkan para pedagang yang menempati Pasar Desa Wonosari karena menolak membayar uang sewa dan retribusi sejak tahun 2011.

Kondisi itu membuat Desa Wonosari mengalami kerugian Rp 20 miliar. Artinya, pendapatan yang harusnya masuk ke desa itu tidak ada sama sekali. Selama ini, pihak desa sudah bersikap persuasif untuk menagih retribusi kepada para pedagang. Sayangnya, pedagang tidak memberikan tanggapan yang baik.

Bahkan pedagang berdalih sudah membayar retribusi rutin. Dan ada juga pedagang yang mengaku sudah membeli lapak-lapak di pasar itu. Padahal itu adalah pasar desa yang berdiri di tanah desa dan pengelolaannya dipegang desa setelah masa perjanjian dengan pihak ketiga habis.

Terpisah, Direktur Pusat Studi Advokasi dan Kebijakan (Pusaka), Lujeng Sudarto menyebut, apa yang dilakukan Bank Jatim Nongkojajar ini sangat ironis. “Menjadi ironi, sekelas perusahaan daerah milik pemerintah provinsi lalai, sehingga dalam perkara ini masyarakat dan pihak desa yang dirugikan,” kata Lujeng.

Ia mendesak Gubernur Jawa Timur dan Pimpinan Bank Jatim pusat melakukan tindakan. Ia meminta gubernur untuk memberikan sikap tegas dalam perkara ini. “Ada dugaan kuat kongkalikong antara Bank Jatim dengan pihak-pihak tertentu yang bertujuan memberikan keuntungan dan memperkaya orang lain,” lanjutnya.

Sehingga, kata Lujeng, hal itu menyebabkan munculnya potensi kerugian negara. Tindakan tersebut bisa dikenai pasal 2 UU 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Lujeng menyebut, desa tidak ada perjanjian sewa menyewa dengan pihak Bank Jatim. Artinya, bank jatim tidak sah menempati stand di pasar desa itu.

“Kalau memang menyewa, menyewanya ke siapa dan uang sewanya masuk kemana. Karena pihak desa tidak menerima uang sewa dari Bank Jatim,” paparnya.

Sementara itu pihak Bank Jatim Pasuruan belum memberikan pernyataan resmi terkait pemanggilan pimpinan Bank Jatim Nongkojajar oleh kepolisian. “Saya belum update ya, coba nanti saya konfirmasi ke bagian umum, karena kebetulan saya juga baru di Pasuruan,” kata Hero, pimpinan Bank Jatim Pasuruan. *****


Artikel ini bersumber dari surabaya.tribunnews.com.