Jakarta: Indonesia tengah berupaya bertransisi dari sumber energi nasional ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Sumber EBT, seperti angin, panas bumi, tenaga surya, dan lain sebagainya.  
 
Pemerintah menargetkan EBT dapat memenuhi 23 persen kebutuhan energi nasional pada 2025. Angka ini nantinya akan menggeser penggunaan sumber energi minyak turun menjadi 25 persen dan energi batubara menjadi 30 persen.
 
Pemerintah juga menargetkan penggunaan energi dari sumber EBT naik menjadi 31 persen dan menggeser sumber energi minyak turun menjadi 20 persen serta batubara 25 persen pada 2050.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Namun, untuk mencapai transisi energi tersebut ada banyak hal yang dibutuhkan, salah satunya energy financing atau pendanaan. EBT dikenal sebagai sumber energi ramah lingkungan, namun teknologinya tidak murah.  
 
Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri, Muhammad Takdir, mengatakan untuk merealisasikan target transisi energi kepada EBT di atas, negara harus menyediakan lebih kurang USD6.000 juta pertahun.
 
Dia menyebut untuk memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut investasi asing perlu ditingkatkan, potensi pasar dalam negeri perlu dimaksimalkan, jangkauan pasar EBT dalam negeri perlu diperluas atau di mana EBT dalam negeri turut bisa dijual ke perusahaan di luar negeri.
 
Takdir mengatakan Indonesia mempunyai potensi besar untuk memproduksi EBT. Sementara itu, dari sisi regulasi, pemerintah juga telah menerbitkan banyak hal yang dibutuhkan.
 
Namun, Takdir menyebut bila masalah pendanaan tidak bisa maka semua hal itu percuma. “Tapi saya kira regulasi itu tidak akan bermanfaat kalau masalah financing tadi tidak bisa kita carikan solusinya,” kata Takdir dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan topik ‘Diversifikasi Energi dan Tantangan Transisi ke Energi Bersih di Tengah Realisme (Geo) Politik’ yang diadakan FISIPOL UGM dikutip dari laman ugm.ac.id, Kamis, 11 Agustus 2022.
 
Analis energy financing dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi, membenarkan butuh pendanaan besar untuk EBT. Elrika mengatakan pendanaan EBT sedikit berbeda dengan pendanaan energi konvensional selama ini layaknya minyak bumi dan batubara.  
 
Dia menuturkan EBT membutuhkan biaya yang sangat besar di awal. Tapi, ketika beroperasi, beban biaya EBT hampir tidak ada.
 
Hal ini bertolak belakang dengan pendanaan minyak bumi, batubara, dan energi konvensional lainnya. Minyak bumi dan kawan-kawan hanya membutuhkan sedikit biaya untuk membangunnya, namun butuh biaya besar untuk mengoperasikannya.  
 

 
 

(REN)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.