Jakarta: Pada pemberitaan terbaru dalam saga Twitter vs Musk, Musk mengklaim dalam dokumen hukum bahwa 10 persen dari pengguna aktif harian jejaring sosial yang menonton iklan bukanlah jumlah sebenarnya.
 
Sebagai pengingat, Twitter telah lama menyatakan bahwa bot mewakili kurang dari lima persen dari basis penggunanya, dan Musk menunda akuisisi jaringan sosial yang direncanakannya pada pertengahan Juli untuk mengonfirmasi akurasi informasi tersebut.
 
Bos Tesla dan SpaceX, yang juga merupakan pengguna Twitter profilik, melakukan pengambilalihan agresif jejaring sosial ini pada bulan April lalu, setelah telah menjadi pemegang saham terbesar.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Twitter secara cepat menerima penawaran Musk, namun mereka membantah jumlah akun palsu di platform tak lama setelah tuduhan tersebut dilayangkan. Selain itu, Musk juga menuduh perusahaan tidak memberikannya akses ke informasi cukup untuk memverifikasi jumlah bot di situs web.
 
Mengutip Engadget, Twitter mengklaim pihaknya memberikan Musk akses penuh ke data internal sebagai respon dari tuduhan Musk. Namun pada akhirnya, Musk mengungkap kepada Securities and Exchange Commission bahwa dirinya ingin membatalkan akuisisi tersebut akibat representasi misleading dan palsu yang dibuat jejaring sosial itu.
 
Twitter menggugat pemegang saham terbesar perusahaannya itu karena mencoba menarik diri dari kesepakatan pembelian senilai USD44 miliar (Rp657,6 triliun). Kepada pengadilan, Twitter menyebut bahwa Musk melanggar kesepakatan mereka dengan melakukan hal itu.
 
Situs ini menuduh Musk mundur dari kesepakatan tersebut karena saham Tesla dan Twitter mengalami penurunan akibat kondisi ekonomi yang terjadi saat ini, dan kesepakatan yang ditandatanganinya tidak lagi sesuai dengan minat personal Musk.
 
Dalam dokumen terbarunya, pihak Musk menyebut analisisnya menemukan jumlah lebih banyak dari akun tidak otentik dibandingkan dengan klaim Twitter menggunakan Botometer. Sebagai informasi, Botometer merupakan algoritma Machine Learning yang dirancang oleh Indiana University.
 
Algoritma ini bertugas untuk memeriksa aktivitas akun Twitter dan memberikan skor berdasarkan peluang merupakan bots. Pengacara Musk menyebut jejaring sosial ini menutupi permasalahan soal bot agar Musk setuju membeli perusahaannya dengan harga tinggi.
 
Pihak Musk juga menyebut bahwa Twitter salah mengkalkulasikan jumlah akun spam dan palsu di platform miliknya, sebagai bagian dari skema untuk menyesatkan investor terkait prospek perusahaannya.
 
Selain itu, pihak Musk menyebut upaya Twitter menutupi kebenaran perlahan terungkap, dan Twitter dengan panik menutup gerbang informasi dalam upaya putus asa untuk mencegah pihak Musk mengungkap penipuannya.
 
Twitter melakukan perlawanan dengan melayangkan gugatan hukum, menyebut klaim Musk tersebut tidak hanya tidak akurat secara faktual, namun juga tidak memadai secara hukum, dan tidak relevan secara komersial.
 
Twitter juga menyebut bahwa Botometer tidak bisa diandalkan dan sempat memberikan akun Twitter milik Musk skor yang mengindikasikan bahwa akun tersebut berpotensi besar merupakan akun bot. Gugatan Twitter terhadap Musk akan dipersidangkan mulai bulan Oktober mendatang.
 

(MMI)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.