Jakarta: Ketiadaan partisipasi pelaku industri hasil tembakau (IHT) sebagai objek terdampak implementasi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan membuat usulan revisi ini tak layak dilanjutkan. 
 
Sejumlah pihak menduga ada kesengajaan untuk tidak melibatkan ekosistem IHT dalam proses revisi ini. Dugaan tekanan dan intervensi asing dalam mendorong usulan regulasi yang akan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan. 
 
Pakar Kebijakan Publik Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Riant Nugroho mengatakan, pelibatan objek kebijakan dalam penyusunan kebijakan publik merupakan hal sangat krusial. Oleh karenanya, pelibatan para pelaku IHT perlu dilakukan sejak awal proses revisi PP 109/2012.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Sebagai objek kebijakan, pelaku IHT harus dilibatkan dari proses awal, penyusunan naskah akademik, hingga keseluruhan proses. Apabila tidak ada keterlibatan dari objek kebijakan secara proses administrasi publik, kebijakan yang dibuat tidak memenuhi kelayakan,” kata dia, Rabu, 3 Agustus 2022.
 
Pelibatan objek kebijakan, merupakan aspek penting dalam pembuatan kebijakan publik, khususnya terkait akuntabilitas. Dalam prinsip good governance, akuntabilitas memastikan adanya komunikasi secara detail, rinci, dan komprehensif dengan setiap pihak yang menjadi bagian atau objek dari kebijakan tersebut.
 

 
Sayangnya aspek ini kerap terlupakan oleh pembuat kebijakan publik, khususnya pemerintah. Mereka hanya fokus terhadap aspek responsibilitas, yaitu agar kebijakan-kebijakan yang telah dijadwalkan bisa rampung pada waktu dan sesuai anggaran yang ditentukan.
 
Hal ini misalnya tercermin dari proses konsultasi maupun uji publik yang tak sesuai dengan amanat undang-undang, dan tidak mampu memotret kenyataan di lapangan. Uji publik yang tidak inklusif dikhawatirkan hanya akan menghasilkan kebijakan yang tidak menjadi solusi yang mengena pada kebutuhan masyarakat luas. 
 
“Dalam sejumlah konsultasi publik, sebenarnya bukan konsultasi publik, tapi bagaimana pejabat mengundang banyak stakeholder yang hanya setuju dengan gagasan pemerintah saja. Hasilnya terjadi ketidakseimbangan dalam proses konsultasi publik tersebut,” ungkapnya.
 
Nirpartisipasi dari objek kebijakan dan proses penyusunan kebijakan yang tidak dinamis, menurutnya, hanya akan menghasilkan kebijakan yang tidak efektif, serta berpotensi sebagai pemborosan keuangan negara bahkan menjurus kepada korupsi kebijakan. Pasalnya, hal ini dapat menimbulkan konflik baru yang tidak perlu.
 
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wijaya menduga ada kesengajaan untuk tidak melibatkan pelaku IHT dalam proses revisi PP 109/2012. Hal ini terjadi saat uji publik oleh Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang mengundang pelaku IHT secara mendadak.
 
“Kami bahkan baru menerima undangan satu hari sebelum uji publik yang diselenggarakan oleh Kemko PMK. Proses usulan revisinya saja sudah cacat hukum, tidak transparan, belum lagi sampai ke substansinya yang menimbulkan banyak pertanyaan,” jelasnya. 
 
Hananto juga menduga adanya tekanan-tekanan oleh asing yang mendorong agar revisi PP 109/2012. Menurut Hananto, indikasi ini pada saat uji publik terlihat dari kelompok-kelompok tertentu bisa menjelaskan detil pasal per pasal, sementara para pelaku IHT tidak diberikan akses terhadap materi revisi sama sekali. 
 
“Selayaknya pemerintah mengedepankan keterlibatan seluruh pihak yang terdampak dalam proses perumusan kebijakan sejak awal, dengan mengedepankan azas keadilan dan transparansi. Adapun proses yang dilakukan dinilai tidak sah dan hanya dilakukan sebagai formalitas sehingga berpotensi menimbulkan inefektivitas atas hasil kebijakan,” pungkas dia.
 

(END)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.