Bocah tersebut bernama Akbar Eka Aryadi Santoso, 13. Akbar saat itu bersimpuh di hadapan Aipda Dwi. Momen itu Akbar lakukan karena ada instruksi agar siswa berlutut di hadapan orang tuanya. Sementara, tak satu pun orang tua maupun wali murid dari Akbar yang hadir di sekolah.
Saat momen itu, Aipda Dwi tak kuasa air mata. Kaki Aipda Dwi dibasuh Akbar beberapa kali. Bahkan Akbar pun sempat menyeka air mata.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Saya kemarin itu tak sangaja didekati Akbar karena kedua orang tuanya tidak hadir di wisuda,” kata Dwi ditemui di kawasan Tegalpanggung, Sabtu, 2 Juni 2022.
Akbar dengan Aipda Dwi tak memiliki garis keturunan atau silsilah keluarga. Keduanya hanya dipetemuan karena tugas Aipda Dwi yang kerap berkeliling kampung patroli keamanan sejak 2017. Dari pertemuan di kampung itu, Akbar dan Dwi saling mengenal serta kerap berbincang.
Dwi memperhatikan Akbar karena sempat tak mau bersekolah. Menurut dia, Akbar akan sekolah kalau suasana hatinya sedang senang. Jika tidak, Akbar tak akan berangkat sekolah.
“Jadi karena anaknya enggak mau sekolah saya cari tahu. Anak ini kenapa tidak mau sekolah,” ujar Dwi.
Dalam perjalanan, Dwi mengetahui Akbar tak mau berangkat sekolah karena persoalan keluarga. Ibunda Akbar bernama Siti Suliasih saat itu sedang sakit ginjal. Posisinya sang ibu sedang dirawat di rumah sakit pemerintah di Yogyakarta.
Dari situasi itu, keluarga Akbar didera permasalahan ekonomi. Bahkan, Suliasih akhirnya dibawa pulang karena keluarganya tak memiliki biaya pengobatan. Di rumah pun kondisinya tidak kunjung membaik karena perawatan hanya ala kadarnya.
“Pas dirawat di rumah itu ibunya Akbar cuma mengandalkan kelurahan dan Puskesmas,” kata Dwi.
Nahas, Suliasih pun mengembuskan napas terakhirnya beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, Dwi mengaku fokus membujuk Akbar tetap sekolah dan menutupi sejumlah keperluan keluarganya.
“Jadi sejak ibunya meninggal itu saya selain membujuk Akbar biar tetep mau sekolah juga membantu menutup biaya operasi (almarhumah) ibunya,” kata dia.
Ia berkomunikasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, hingga DPRD setempat untuk membantu. Saat itu, kata dia, uang yang terkumpul dari Jamkesda sekitar Rp15 juta. Namun, nominal itu belum cukup menutupi biaya operasi itu.
Selain itu, Dwi juga berupaya mencarikan pembiayaan sekolah untuk Akbar. Ia berkomunikasi dengan pemerintahan, kelurahan, kampus setempat hingga Dinas Pendidikan. Meskipun, ia juga harus bersusah payah membujuk Akbar agar mau bersekolah tidak mudah.
“Pokoknya mau (berangkat) sekolah saja dulu, telat datang gak masalah. Itu pesan kepala sekolah waktu itu,” ujarnya.
Perlahan, Akbar luluh hatinya dan tetap berangkat sekolah hingga wisuda SD akhir bulan lalu. Dari perjalanan itu, kedekatan Dwi dengan Akbar seperti orang tua dengan anaknya.
“Saya ikut nangis ketika dia (Akbar) spontan datang ke saya. Membasuh kaki saya,” kenangnya.
Akbar memang anak malang. Selain ibunya meninggal, ayahnya merantau ke luar kota hanya sebagai pekerja serabutan.
Dwi mengaku akan berupaya dan memotivasi agar Akbar bisa melanjutkan sekolah. Ia mengatakan sudah berkomunikasi dengan pengurus pondok pesantren hingga pengurus SMP di Yogyakarta agar membantu kelanjutan pendidikan Akbar.
(WHS)
Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.