Jakarta: Dalam penyediaan Kotak P3K di kantor, terkadang melewatkan bagian terpentingnya, yaitu alat defibrillator eksternal otomatis (Automated External Defibrillator / AED). Padahal alat ini berpotensi menyelamatkan nyawa jika terjadi henti jantung mendadak.

Yayasan Jantung Indonesia bertujuan untuk meluruskan dengan memberdayakan bisnis demi meninjau kembali peralatan darurat yang mereka miliki, dan mulai melengkapi perangkat penyelamat di tempat mereka untuk melindungi kehidupan komunitas, karyawan, klien, hingga pengunjung dengan lebih baik.

Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung di Indonesia pada 2018 mencapai 1,5 persen. Hampir sebesar 80% kematian jantung mendadak di Indonesia terjadi di luar rumah sakit dengan tingkat kelangsungan hidup hanya 5% tanpa penanganan segera.

Peluang korban untuk bertahan hidup berkurang sekitar 10% untuk setiap waktu berlalu setelah kolaps. Berdasarkan data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia tahun 2015, insiden henti jantung mendadak (SCA) terjadi hingga sekitar 300.000 – 350.000 insiden per tahunnya.

Menurut dr. Radityo Prakoso SpJP(K), FIHA, FAsCC selaku Ketua PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat merupakan penyebab utama penyakit jantung koroner (PJK). Sebanyak 50% pasien PJK berpotensi mengalami henti jantung mendadak atau kematian jantung mendadak.

Berlawanan dengan pengetahuan yang sering ditemui, henti jantung mendadak (Sudden Cardiac Arrest/SCA) tidak sama dengan serangan jantung. Serangan jantung terjadi ketika aliran darah ke jantung terhambat. Sedangkan henti jantung mendadak terjadi ketika jantung tidak berfungsi dan berhenti berdetak secara tidak terduga.

Sementara orang tua atau pasien dengan komplikasi jantung yang ada memiliki risiko henti jantung yang lebih besar, hal itu juga dapat terjadi pada siapa saja yang tidak memiliki penyakit jantung yang diketahui. Jika tidak segera diobati, henti jantung mendadak (Sudden Cardiac Arrest / SCA) dapat menyebabkan kematian.

Jika langsung mendapatkan akses awal ke AED, kemungkinan bertahan hidup pasien henti jantung mendadak dapat meningkat hingga 75%. Dengan catatan, resusitasi yang diberikan dalam tiga hingga lima menit pertama kolaps dengan resusitasi jantung paru (CPR), diikuti oleh gelombang kejut pertama yang diberikan oleh AED, membuat adanya perbedaan antara kehidupan dan kematian.

Adanya AED akan membuat perbedaan nyata antara kehidupan dan kematian. Kehadiran AED memungkinkan korban henti jantung untuk menerima perawatan dengan cepat.

“AED yang dipasang di fasilitas umum seperti perkantoran, stasiun MRT, mall, pasar, ditambah dengan edukasi yang baik kepada masyarakat tentang cara membantu pasien henti jantung mendadak dengan dipasangnya AED di tempat umum, diharapkan dapat menurunkan angka kematian akibat henti jantung mendadak di Indonesia,” tambah dr. Radityo.

Henti jantung mendadak dapat menyerang siapa saja, di mana saja, kapan saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, etnis, maupun kebugaran fisik. Defibrillator eksternal otomatis (AED) memastikan orang-orang di fasilitas umum siap menangani keadaan darurat jantung.

Peralatan AED harus ditempatkan di area publik dengan kepadatan tinggi seperti tempat olahraga, pusat perbelanjaan, bandara, pesawat terbang, tempat kerja, pusat konvensi, hotel, sekolah, kantor dokter, dan di tempat umum atau pribadi, di mana banyak orang berkumpul atau di mana orang berada pada risiko tinggi mengalami insiden henti jantung mendadak.
(FIR)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.