Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Pasal 1 ayat 15 dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Agenda sidang dengan nomor perkara 75/PUU-XX/2022 itu ialah perbaikan permohonan.
 
“Perbaikan pertama berupa identitas para pemohon kami cantumkan sebagai pemohon satu sampai lima. Sebelumnya tidak disebut sebagai pemohon,” kata salah satu kuasa hukum pemohon Wilopo Husodo dalam sidang virtual di MK, Jakarta Pusat, Senin, 15 Agustus 2022.
 
Wilopo mengatakan perbaikan berikutnya ialah mencantumkan kewenangan MK. Hal itu berdasarkan kewenangan yang tercantum dalam peraturan MK.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Selain itu, pihaknya mencantumkan kedudukan hukum khususnya hak konstitusi pemohon. Kemudian menambah uraian kerugian para pemohon.
 
“Baik secara umum soal pengakuan hak pemohon maupun yang spesifik soal kerugian yang dialami pemohon selaku pekerja rumahan,” papar Wilopo.
 
Wilopo menyebut ada tambahan dalam poin pokok-pokok permohonan. Mereka mencantumkan beberapa teori soal definisi pemberi kerja maupun pengusaha berdasarkan teori pakar hukum ketenagakerjaan.
 
“Kami juga memasukkan teori maupun konvensi internasional dan rujukan-rujukan lain soal pokok permohonan,” ujar dia.
 

Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul sebagai ketua sidang mengatakan perbaikan permohonan diterima. Majelis hakim bakal membawa permohonan itu ke rapat permusyawaratan hakim.
 
“Kelanjutannya akan dibawa ke sidang pleno atau tidak, hasilnya akan diberitahukan oleh kepaniteraan,” tutur Manahan.
 
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 1 ayat 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945. Musababnya, para pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU a quo.
 
Kemenaker merespons bahwa istilah pekerja rumahan tidak dikenal dalam UU a quo. Pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja berdasarkan beleid tersebut. Namun posisinya berada di luar hubungan kerja.
 
Pemohon merasa hak konstitusionalnya terabaikan dengan tidak adanya pengakuan terhadap pekerja rumahan. Sehingga menutup akses keadilan dan kepastian hukum dari pengusaha atau pemberi kerja.
 

(END)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.