Terkenal dengan arsitektur kekaisaran Habsburgs, Ibu Kota Austria itu kembali menduduki peringkat pertama sebagai kota paling layak huni di dunia, demikian menurut majalah The Economist.
Juru bicara Dewan Pariwisata Wina Nikolaus Graeser mengatakan “ada juga studi Mercer yang menunjukkan Wina berada di peringkat pertama untuk kesepuluh kali berturut-turut, tetapi hal itu ditangguhkan karena pandemi. Kini kami kembali berada di peringkat teratas versi The Economist. Dalam Indeks Kota Ramah Lingkungan dan Kota Cerdas, Wina juga berada di peringkat teratas.”
Dalam survei kelayakan hidup terbarunya, “The Global Liveability Index 2022,” The Economist Intelligence Unit kembali menempatkan Wina di posisi teratas.
Wina sempat turun ke posisi 12 pada tahun 2021 karena penutupan museum dan restoran, yang mencerminkan kebijakan pembatasan pandemi COVID-19 yang diberlakukan pemerintah Austria ketika itu.
Infrastruktur Sangat Baik
The Economist Intelligence Unit kembali membuat Wina mengklaim kembali posisi yang pernah didudukinya tahun 2018 dan 2019 karena pertimbangan “stabilitas dan infrastruktur yang baik” yang menjadi “daya tarik utama kota itu bagi penduduknya, didukung oleh layanan kesehatan yang baik dan banyaknya peluang budaya dan hiburan.”
Graeser mengatakan kriteria yang digunakan untuk pemeringkatan di tingkat dunia itu mencakup berbagai hal, antara lain infrastruktur, transportasi publik, pendidikan, dan layanan kesehatan. “Dalam hal ini Wina berada dalam posisi yang sangat beruntung,” tambahnya.
Lebih jauh Graeser mencontohkan betapa terjangkau dan baiknya transportasi publik di kota itu. “Hanya dengan satu euro per hari, warga dapat menggunakan seluruh jaringan transportasi publik. Ongkos tahunan mencapai 365 euro per tahun.”
Menurut situs transportasi umum di kota itu, lebih dari satu juta warga Wina – atau berarti lebih dari separuh populasi di Wina – memiliki karcis tahunan untuk menggunakan transportasi publik.
Ukuran kota dan tersedianya rekreasi dalam batas kota itu semakin menjadikan Wina menarik.
“Wina adalah kota metropolis di mana saya bisa mengendarai sepeda balap di dekat kebun anggur atau bersantai di hutan pada sore hari, dan pada malam harinya pergi ke State Opera untuk menyaksikan budaya kelas dunia,” ujar Graeser.
Serba Terjangkau
Hanya dibutuhkan waktu sembilan menit dan enam pemberhentian kereta api bawah tanah dari Katedral St. Stephen di jantung kota, menuju apa yang disebut sebagai Old Danube, yang merupakan sisi sungai yang dapat digunakan untuk berenang. Perairannya yang tenang menjadi salah satu tempat rekreasi kota yang paling disukai di musim panas.
Namun Old Danube bukan satu-satunya tempat berenang di kota ini, karena ada pula tepian Pulau Danube yang juga sangat populer.“Tentu saja ketersediaan ruang hijau juga penting untuk kualitas hidup, dan Wina memiliki sekitar 50% taman di dalam batas kota ini. Kita bisa melihat Pulau Danube yang panjangnya mencapai 21 kilometer, atau Prater, semacam tempat rekreasi di tengah kota. Artinya kita memiliki pantai sepanjang dua kali 21 kilometer di Pulau Danube saja,” papar Graeser.
Ada pula kawasan perbukitan luas yang menghadap ke kota, di mana orang bisa berjalan-jalan di hutan dan berhenti untuk minum segelas anggur di salah satu kedai yang membuat anggur dari tanaman mereka sendiri.
“Kami memiliki 700 hektare kebun anggur di dalam batas kota. Ini adalah rekor dunia untuk ibu kota seperti itu, dan tentunya menjadi salah satu alasan mengapa Wina menjadi kota paling layak huni di dunia. Tetapi tidak hanya anggur, kami juga memiliki air yang sangat baik, air mineral yang langsung dapat diminum dari keran. Kaisar Franz Josef membuka jaringan pipa mata air pegunungan Wina sekitar 125 tahun lalu dan hingga hari ini Wina masih mendapat manfaatnya,” ujar Graeser. Rasa segar air keran Wina ini terkenal karena berasal langsung dari mata air Pegunungan Alpen.
Mungkinkah Wina Pertahankan Gelar?
Tantangan bagi Wina sekarang adalah mempertahankan posisi pertama itu.
“Wina harus siap dengan perubahan iklim dan menetapkan tujuan ambisius untuk memiliki iklim yang netral pada tahun 2040. Ini berarti: lebih sedikit beton, lebih banyak ruang hijau dan tempat bernaung, dan tentu saja manajemen energi yang efesien untuk kota metropolitan sebesar Wina,” tambahnya.
Dampak perubahan iklim ini sudah mulai dirasakan warga.
Theo Loecker yang baru saja tamat SMA dan ingin melanjutkan studi “Sejarah” mengatakan “di musim panas kota ini menjadi sangat panas. Maksud saya ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim. Tetapi Wina terus mencoba mengatasinya dengan membuat berbagai kolam, ruang hijau dan lain-lain.”
Loecker juga mencatat bahwa ia telah mendeteksi perubahan negatif dalam sikap sebagian orang di Wina baru-baru ini. “Yang juga saya perhatikan adalah meskipun Wina menjadi kota bagi semua, di mana orang bisa memiliki semangat sebagai orang Wina, dalam beberapa tahun terakhir ini tetap saja ada xenophobia dan rasisme tertentu. Saya sangat tidak menyukai hal ini,” tegas Loecker.
Lain lagi dengan Hannah Schneider yang sedang menempuh pendidikan di University of Natural Resources. Ia mengatakan transportasi umum sebenarnya masih bisa lebih baik lagi karena ia masih membutuhkan waktu hingga 45 menit untuk mencapai pusat kota dari tempat tinggalnya di pinggiran Wina. Namun ketika ia bepergian ke luar negeri, ia tidak lagi membandingkan hal itu.
“Saya cukup sering mengunjungi kota-kota lain ketika hari libur, dan saya mengatakan dalam hati, di sini OK tetapi masih ada hal-hal yang sangat saya sukai di Wina. Jadi saya percaya Wina memang merupakan kota yang benar-benar paling layak huni, karena kesempatan yang ditawarkan.” [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.