Wadas bermakna batu cadas. Seperti juga bongkah batu yang dikikis air, perlawanan warga Wadas dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener pelan-pelan dilemahkan, oleh iming-iming uang dan penggembosan dukungan.
Belasan petugas ukur tanah untuk PSN Bendungan Bener leluasa bekerja di kebun dan halaman rumah warga di kawasan Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (12/7). Lima tim gabungan sejumlah instansi, dikerahkan untuk mengukur luas tanah milik warga dan menentukan ganti rugi yang akan diberikan. Tidak seperti suasana Februari lalu, yang tegang dan penuh bentrokan, warga kali ini memilih diam, dan melihat aktivitas petugas ukur dari kejauhan.
Kosidun, adalah salah satu warga pedukuhan di kawasan itu yang tanahnya turut diukur. Dia sudah menyerahkan kebun seluas lebih empat ratus meter, tempat dia biasa memanen durian ke pemerintah.
“Daripada susah, pemerintah kalau dilawan kan tidak bisa, yang pasti tidak akan menang. Tidak ada untungnya, kan. Kalau pemerintah kok dilawan, itu pasti kalah. Saya, sebagai orang kecil berpikirnya begitu,” kata Kosidun ketika ditemui VOA.
Dalam pengukuran hari Selasa, sebagian rumah Kosidun masuk dalam rencana ganti rugi tahap kedua. Padahal, dapur yang dia bangun dari uang ganti rugi tahap pertama, bahkan belum jadi.
“Yang ini saya masih mikir-mikir, tapi kalau tetangga sebelah setuju, masak ya saya tidak setuju. Kalau dibongkar, nanti saya pindah ke atas sana, masih ada tanah sedikit,”ujarnya sambil menunjuk ke atas bukit di belakang rumahnya.
Konflik Mereda Seiring Waktu
Sepanjang awal tahun 2022, desa Wadas di Purworejo, Jawa Tengah diliputi suasana tegang berkepanjangan. Pada Februari, puncak ketegangan itu ditandai dengan bentrokan yang menyedot perhatian. Sekurangnya 60 warga ditangkap polisi dengan setidaknya sepuluh anak-anak di dalamnya.
Lembaga Hak Asasi Manusia, organisasi perempuan, anggota DPR, silih berganti datang menyampaikan keprihatinan atas konflik dan kekerasan yang terjadi. Presiden Joko Widodo, yang menetapkan Bendungan Bener sebagai satu dari 58 PSN sektor bendungan dan irigasi melalui Perpres Nomor 109 tahun 2020, nampaknya bersikukuh. Menurut rencana, bendungan tertinggi di Asia Tenggara itu memang harus jadi sebelum Jokowi menyelesaikan masa kerjanya pada 2024 nanti.
Tidak mengherankan jika seluruh pihak melakukan pendekatan intensif. Sepekan sebelum Idulfitri Mei 2022 lalu, uang ganti rugi tahap pertama disebar ke sebagian kecil warga yang setuju. Kisah tentang warga dengan miliaran uang yang datang itu berhembus kencang, dan menarik sebagian warga lain yang selama ini cenderung netral atau menolak tetapi tidak militan. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo bahkan mengirim sapi jenis metal seberat 530 kilogram ketika Iduladha kemarin, menemani satu sapi lain dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak, yang berkepentingan dalam proyek ini.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Purworejo menjadi bagian penting dari strategi ini. Kepala BPN setempat, Andri Kristanto menyatakan, setelah mereka membagi uang ganti rugi tahap pertama, loket sukarela dibuka untuk warga yang ingin menjual tanahnya di kawasan Wadas.
“Di pembayaran tahap pertama saya sampaikan, kita, kantor pertanahan, membuka pendaftaran atau dengan senang hati melayani siapapun, dari kelompok manapun, yang ingin tanahnya dibebaskan. Dan setelah lebaran, kami membuka loket sebagai bentuk kehadiran kita,” papar Andri.
Pemerintah telah berhasil membeli 304 bidang tanah di tahap pertama, dan menyasar 313 bidang tanah di tahap kedua kali ini. Andri menjamin, pemerintah hanya mengukur tanah yang pemiliknya sukarela melepas.
“Warga yang bersedia, siap diukur tanahnya, siap dibebaskan, dan warga itu datang ke lokasi lahan, menunjukkan batasnya, pengukuran akan terjadi,” tandas Andri.
Berbeda jauh dengan pengukuran tahap pertama yang dikawan ratusan aparat keamanan bersenjata lengkap, pengukuran tahap kedua kali ini tanpa mereka. Andri bahkan menyebut, pengawalan justru dilakukan warga selaku pemilik tanah.
Bukan hanya karena gelontoran uang, Wadas tak lagi panas juga karena penggembosan dukungan. Organisasi keagamaan yang sebelumnya mendukung warga, pelan-pelan menarik diri.
Setidaknya, perubahan sikap Sodin, warga setempat yang merelakan kebunnya berpindah tangan, menggambarkan kondisi itu.
“Ya ikhlas, karena yang butuh pemerintah, mau gimana. Susah kalau mau melawan. Saya ini dibawah pemerintah. Sekarang sudah mundur yang menemani melawan. Saya dulu nolak, tapi enggak ikut demo, di belakang saja. Begitu yang mendampingi untuk menolak mundur, ya saya ikut mundur,” kata Sodin yang turut menemani petugas ukur di ladangnya.
Uang ganti rugi untuk ladang seluas sekitar 300 meter itu, kata Sodin akan dia pakai untuk membeli ladang baru. Sodin mengaku melepas tanahnya, karena pemilik tanah di sekeliling ladangnya juga memilih untuk menjual.
Merusak Ikatan Sosial
Seorang perempuan yang ditemui VOA mengaku melepas tanahnya karena tidak mau berkonflik dengan tetangga. Ladang mereka bersebelahan, dan masuk dalam wilayah yang akan menjadi jalan akses truk pengangkut batu andesit dari perbukitan Wadas menuju bendungan Bener.
“Dulu saya juga nolak. Sekarang sudahlah, saya lepas. Ikut tetangga,” kata perempuan yang enggan disebut namanya.
Sementara sepasang sumi istri yang ditemui VOA, mengaku nekad berpisah rumah dengan orangtuanya. “Bapak tidak mau menjual tanahnya karena ikut sikap tetangga, padahal anak-anaknya sudah setuju semua. Biar saja, dia mau hidup ikut tetangga kok, tidak mau nurut sama anaknya,” ujar mereka kesal.
Di Wadas banyak warga menolak berbicara, atau meminta namanya tidak disebut, karena enggan berkonflik dengan keluarga atau tetangga. Guyuran uang dalam jumlah sangat besar, mengkotak-kotakkan kehidupan warga.
Siswanto, tokoh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) mengakui kondisi itu. Sebagian warga yang berubah sikap dan menjual tanahnya kali ini, didorong oleh kondisi yang menekan sisi kehidupan sosial mereka.
“Mau tidak mau dengan terpaksa mereka harus ikut. Karena yang terancam itu kan budayanya. Seperti budaya saling sapa. Makanya, akhirnya warga tertekan. Mau tidak mau, di satu blok jadi satu suara. Walaupun sebenarnya, hatinya tidak seperti itu, tetapi karena secara umum begitu, ya jadilah seperti itu,” ujar Siswanto.
Perubahan sikap warga, kata Siswanto, terjadi setelah perubahan sikap tokoh masyarakat setempat. Pemerintah melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh kunci, dan menjadikan mereka pemengaruh di lingkungan warga.
“Warga berubah. Jadi, mereka cara berpikirnya bukan menolak tambang, tetapi seolah-olah tambang ini tetap bakalan terjadi, dan teman-teman Wadas yang ketemu salah satu tokoh ini berpikir, bahwa yang efektif adalah mengajukan sikap pro, tetapi bersyarat,” tambah Siswanto.
Pro bersyarat adalah kelompok masyarakat baru, yang muncul setelah pendekatan intensif dari pemerintah. Lembaga, kementerian, pemerintah daerah termasuk aparat keamanan nampaknya belajar banyak dari tragedi kekerasan Februari lalu. Elektabilitas Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah yang menjadi salah satu calon kuat di Pilpres 2024, disebut-sebut bahkan ikut terganggu.
Sebagian masyarakat Wadas kini memang telah berubah. Spanduk dan coretan anti tambang, yang dulu mendominasi jalan-jalan, kini tak penuh lagi. Uang ganti rugi total Rp 335 miliar bagi 233 warga telah masuk ke desa sunyi di lereng perbukitan itu. Dua warga mencatat penerimaan tertinggi, yaitu Rp8 miliar dan Rp7 miliar.
Batu cadas memang tergerus oleh air yang menetes sepanjang waktu. Kali ini, warga Wadas yang pelan-pelan kehilangan tanah, karena tetesan uang miliaran rupiah. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.