Meski mengaku berjuang untuk kemerdekaan Papua, masyarakat sipil adalah pihak paling dirugikan oleh aksi Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPM-OPM). Ketika beraksi, gerombolan yang juga sering disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ini meneror warga. Setidaknya, itu tergambar dari penelitian dosen Universitas Cenderawasih, Papua, La Mochtar Unu.

“KKB membuat teror di masyarakat, masuk ke kampung satu dua hari lalu setelah itu lari lagi, pindah lagi. Kalau dilayani, diberikan makan, diberikan uang, mereka senang. Tetapi kalau tidak dilayani tuntutan mereka, pihak KKB pasti nanti menembak,” kata La Mochtar, dalam diskusi Bagaimana Melindungi Masyarakat Sipil di tengah Konflik Bersenjata di Papua?, yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Jumat (5/8).

Susana di Pasar Wamena, Papua (VOA/Alam Burhanan).

Susana di Pasar Wamena, Papua (VOA/Alam Burhanan).

Yang disebut menembak, menurut informasi penelitian La Mochtar, bukanlah menembak orang tetapi menembak ke atas atau ke ruang kosong.

“Kalau menembak ke atas, menggunakan senjata, satu peluru itu masyarakat harus membyar satu juta rupiah. Kalau dua peluru, dua juta rupiah. Masyarakat harus kumpul uang dan kasih, kalau tidak, maka tidak aman. Bisa-bisa timbul korban, bisa-bisa rumahnya dibakar, dan sebagainya,” lanjut La Mochtar.

Korban Sipil Lebih Banyak

Masyarakat juga seolah mati di tengah-tengah layaknya pelanduk, karena serba salah dalam beraktivitas. Ketika mereka masuk hutan, untuk mencari kayu atau membuka ladang, aktivitasnya berpotensi dicurigai oleh TPN-OPM. Mereka bisa dianggap sebagai mata-mata tentara. Sementara sebaliknya, di mata TNI/Polri, mereka juga bisa dicurigai sebagai anggota TPN-OPM.

“Jadi serba salah masyarakat itu. Kayak buah simalakama, dimakan salah, tidak dimakan salah,” kata La Mochtar.

Ada sejumlah cara untuk melindungi masyarakat sipil, tetapi tidak mudah diterapkan. La Mochtar menyebut sejumlah alternatif, seperti relokasi warga ke daerah aman dan dialog damai. La Mochtar juga menyebut kemungkinan, warna non-Orang Asli Papua (OAP) sebaiknya tidak beraktivitas di daerah rawan konflik bersenjatar terlebih dahulu, karena tidak ada jaminan keamanan bagi mereka.

Data yang dikumpulkan La Mochtar, dari Januari- Juni 2022 setidaknya ada 45 serangan yang menyebabkan korban. Ada 26 warga sipil meninggal dan 26 orang terluka. Sementara tujuh prajurit TNI meninggal dan dua belas terluka, serta satu anggota Polri 1 meninggal dan dua terluka. Dari pihak TPN-OPM, sekurangnya ada tiga korban meninggal.

“Kalau kita lihat gambaran ini, lebih banyak warga sipil meninggal dibanding aparat keamanan dan KKB. Aktor konfliknya adalah dua pihak ini, tetapi yang merasakan penderitaan adalah warga sipil yang tidak tahu apa-apa,” tandas La Mochtar.

Warga Kosarek—Adit (paling kiri) dan Putri (paling kanan bawah) mendedikasikan hidup untuk mengembangkan pendidikan di pedalaman Papua. (Dok: Zakharia Primaditya)

Warga Kosarek—Adit (paling kiri) dan Putri (paling kanan bawah) mendedikasikan hidup untuk mengembangkan pendidikan di pedalaman Papua. (Dok: Zakharia Primaditya)

Hukum Internasional Tidak Berlaku

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Wahyu Wagiman, menyebut klaim Menkopolhuman Mahfud MD terkait perubahan pendekatan Jakarta terhadap Papua, diragukan. Fakta di lapangan membuktikan, konflik masih terus terjadi dan korban kekerasan terus berjatuhan, sebagian besar menimpa masyarakat sipil.

Wahyu sepakat dengan kesimpulan La Mochtar, bahwa korban di pihak TPN-OPM maupun TNI/Polri jauh lebih sedikit dibanding masyarakat sipil.

“Ini yang mungkin tidak menjadi perhatian pokok dari pemerintah Indonesia, dan juga kelompok-kelompok yang kontra terhadap pemerintah Indonesia, sehingga hak-hak masyarakat sipil yang seharusnya diperhatikan itu diabaikan,” kata Wahyu.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) saat berada di salah satu kawasan pegunungan Papua.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) saat berada di salah satu kawasan pegunungan Papua.

Dalam skala global, berlaku hukum humaniter internasional atau Konvensi Jenewa dan sejenisnya yang diterapkan di tengah konflik bersenjata. Namun, dalam kasus Papua, aturan hukum internasional sulit diterapkan untuk menjamin keselamatan masyarakat sipil.

“Sepertinya agak sulit mengkualifikasikan apa yang terjadi di Papua itu bisa diterapkan dengan menggunakan pendekatan yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol Tambahan II tahun 1977. Karena salah satu pihak yang berkonflik di Papua itu tidak menjadi pihak di dalam Konvensi Jenewa 1949,” beber Wahyu.

Wahyu menambahkan, hanya pemerintah Indonesia yang menjadi pihak dalam Konvensi Jenewa 1949, sementara TPN-OPM tidak diakui.

Sejumlah tentara yang dikerahkan untuk mengamankan malam Idulfitri di Timika, Papua, 12 Mei 2021. (Foto: Sevianto Pakiding/AFP)

Sejumlah tentara yang dikerahkan untuk mengamankan malam Idulfitri di Timika, Papua, 12 Mei 2021. (Foto: Sevianto Pakiding/AFP)

“Apa yang terjadi di Papua itu mungkin lebih dekat dan dianggap sebagai situasi ketegangan dalam negeri yang menimbulkan kekacauan dan ketegangan secara terus-menerus,” tambah Wahyu.

Karena perangkat hukum internasional tidak dapat diterapkan dalam kasus Papua, maka hanya ada perangkat hukum nasional yang bisa dipakai. Karena itulah, perlindungan masyarakat sipil dalam konflik bersenjata Papua, didasarkan pada UUD 1945, di mana negara harus melindungi segenap warganya. Termasuk di dalamnya, adalah berbagai undang-undang lain yang terkait seperti UU Hak Asasi Manusia.

Memberi Rasa Aman

Pendeta Magdalena Kafiar dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua mengatakan, upaya menciptakan keamanan di Papua tidak boleh mengesampingkan keamanan untuk masyarakat sipil.

“Yang harus dilihat bukan hanya faktor utama pengamanan saja, tetapi bagaimana keamanan itu juga menjamin masyarakat yang tinggal di situ. Jangan sampai karena fokus ke pengamanan, dia tidak melihat hal itu. Dia harus juga menciptakan keamanan bagi masyarakat setempat. Ini hal yang menurut saya tidak berimbang,” kata Magda.

Dalam pendampingan kepada masyarkakat di wilayah konflik, kata Magda, pihaknya sering menemukan fakta bahwa upaya menciptakan keamanan justru menghadirkan rasa tidak aman bagi masyarakat sipil. Kasus di Kabupaten Maybrat menurutnya bisa menjadi contoh.

“Apa yang dilakukan di sana justru bukan untuk menciptakan keamanan, tetapi justru menambah konflik, karena jumlah pasukan yang terlalu banyak,” ujarnya.

Sejumlah pengungsi di Kais Darat, Papua. (Foto: Courtesy/KMSPPM)

Sejumlah pengungsi di Kais Darat, Papua. (Foto: Courtesy/KMSPPM)

Kondisi itu diperparah oleh kenyataan, bahwa mayoritas pasukan yang datang ke wilayah konflik tidak dibekali pemahaman cukup mengenai masyarakat setempat. Aparat keamanan sering tidak bisa membedakan, menurut ciri-ciri fisik tertentu. Akibatnya salah tangkap seringkali terjadi.

“Yang selalu di pikiran mereka itu hitam, rambut keriting atau gimbal, sehingga orang-orang yang seperti itu akan lebih utama dikejar untuk dijadikan sasaran, untuk penangkapan dan sebagainya. Sehingga ini hal-hal yang harus menjadi perhatian bersama untuk didiskusikan,” tambah Magda. [ns/ah]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.