Juru bicara salah satu dari dua pemerintahan di Libya yang saling bersaing, pada Senin (4/7), mengatakan rakyat negara itu berhak menyampaikan protes, tetapi mengingatkan bahwa Kementerian Dalam Negeri akan “mengambil tindakan tegas” terhadap siapa pun yang “membahayakan kehidupan warga negara atau merusak properti publik.”
Mohamed Hamouda, juru bicara pemerintahan Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah, berbicara di ibu kota Tripoli, beberapa hari setelah pengunjuk rasa menyerbu parlemen di bagian timur negara itu.
“Menteri Dalam Negeri Khalid Mazen menekankan pentingnya hak ini, jaminan hak untuk menyampaikan protes, dan bahwa semua warga negara yang damai memiliki hak ini, dan merupakan tugas pemerintah untuk melindungi semua demonstran selain tentunya melindungi semua fasilitas publik dan swasta,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa pihak “Kemendagri akan mengambil tindakan tegas untuk mencegah siapa pun yang berupaya merugikan, membahayakan kehidupan warga, atau merusak properti publik.”
Ratusan demonstran turun ke jalan-jalan di Tripoli dan kota-kota lain di Libya, pada Jumat (1/7) lalu. Sebagian demonstran menyerang dan membakar gedung-gedung pemerintah, termasuk gedung DPR yang terletak di timur Kota Tobruk.
Demonstrasi pada hari Jumat itu terjadi sehari setelah para pemimpin parlemen dan majelis legislatif lainnya yang berkantor di Tripoli gagal mencapai kesepakatan soal pemilu dalam pembicaraan yang dimediasi PBB di Jenewa.
Menurut PBB, perselisihan yang terjadi saat ini lebih pada soal persyaratan kelayakan untuk menjadi kandidat.
Libya gagal melangsungkan pemilu pada bulan Desember tahun lalu, menyusul munculnya sengketa hukum, kehadiran calon presiden yang kontroversial, dan keberadaan milisi jahat dan pejuang asing di negara itu.
Kegagalan melangsungkan pemilu itu menjadi pukulan besar bagi upaya internasional untuk membawa perdamaian di negara itu. Hal ini sekaligus membuka babak baru dalam kebuntuan politik yang telah berlangsung lama, dengan keberadaan dua pemerintahan yang saling bersaing dan mengklaim kekuasaan setelah langkah-langkah menuju persatuan tahun lalu.
Selain pemerintahan Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah di Tripoli, ada pula pemerintahan Perdana Menteri Fathy Bashagha – yang ditunjuk oleh parlemen bulan Februari lalu – yang berkantor di bagian timur Libya.
Dbeibah dan Bashagha sama-sama mengklaim kekuasaan.
Persaingan itu memicu kekhawatiran bahwa negara kaya minyak itu dapat kembali berperang.
Libya telah dikoyak berbagai konflik sejak pemberontakan yang didukung NATO menggulingkan dan membunuh penguasa lama Moammar Gadhafi pada tahun 2011. Selama bertahun-tahun Libya terpecah antara pemerintaham di timur dan barat, yang masing-masing didukung oleh milisi dan pemerintah asing berbeda. [em/lt]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.