Ulama Muslim Syiah berpengaruh di Irak, Moqtada al-Sadr pada Senin (29/8) mengatakan ia meninggalkan politik dan menutup lembaga-lembaganya sebagai tanggapan atas kebuntuan politik yang pelik. Ini merupakan suatu keputusan yang dapat memicu ketidakstabilan.
“Dengan ini saya mengumumkan penarikan diri terakhir saya,” kata Sadr dalam pernyataannya di Twitter. Ia mengkritik sesama tokoh politik Syiah karena tidak mengindahkan seruannya untuk reformasi.
Ia tidak merinci tentang penutupan kantor-kantornya, tetapi mengatakan bahwa institusi budaya dan agama akan tetap buka.
Sadr sebelumnya pernah mengumumkan pengunduran diri dari politik atau pemerintah dan membubarkan milisi-milisi yang loyal kepadanya, tetapi masih memegang control luas atas berbagai institusi negara dan masih memiliki satu kelompok paramiliter dengan ribuan anggota.
Ia kerap kembali ke aktivitas politik setelah pengumuman serupa, meskipun kebuntuan politik yang sekarang ini di Irak tampaknya lebih sulit untuk diselesaikan daripada sebelumnya.
Kebuntuan yang sekarang ini antara Sadr dan lawan-lawan Syiahnya telah membuat Iran mengalami masa terpanjang tanpa pemerintahan.
Partai Sadr, Blok Sadrist, berada di posisi pertama dalam pemilu Oktober, tetapi ia menarik para anggota parlemen partai itu dari parlemen pada bulan Juni setelah ia gagal membentuk pemerintah berdasarkan pilihannya – di mana ia mengancam akan mengesampingkan lawan-lawan Syiahnya yang kuat yang dekat dengan Iran.
Para pendukung ulama itu kemudian menyerbu kawasan pusat pemerintahan di Baghdad. Sejak itu, mereka menduduki parlemen, menghentikan proses memilih presiden dan perdana menteri baru.
Sadr kini bersikeras mengenai penyelenggaraan pemilu dini dan pembubaran parlemen. Ia mengatakan tidak ada politisi yang berkuasa sejak invasi AS tahun 2003 yang dapat menjabat.
Sekutu Sadr, Mustafa al-Kadhimi, masih menjadi penjabat perdana menteri.
Pengumuman yang dibuat pada Senin ini menimbulkan kekhawatiran bahwa para pendukung Sadr mungkin akan meningkatkan protes tanpa kehadiran pemimpin mereka untuk mengawasi mereka dengan ketat, yang dapat semakin mendestabilisasi Irak.
Negara itu telah berupaya keras untuk pulih sejak kekalahan ISIS pada tahun 2017 karena partai-partai politik telah bertengkar memperebutkan kekuasaan dan kekayaan minyak Irak yang sangat besar. Irak adalah produsen minyak terbesar kedua OPEC. [uh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.