Biro Penyidik Federal FBI Senin malam (8/8) melakukan tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya ketika mereka mendatangi kawasan Mar-a-Lago milik mantan presiden Donald Trump di Florida. Sejumlah agen FBI merangsek ke kediamannya untuk mencari dokumen rahasia yang dibawanya setelah ia meninggalkan Gedung Putih.

Ini merupakan suatu indikasi bahwa tim penyelidik tetap fokus untuk menyelidiki presiden ke-45 Amerika itu.

Beberapa laporan mengatakan tim penyelidik mencari dokumen rahasia yang dibawa Trump ketika ia meninggalkan Gedung Putih pada Januari 2021 lalu. Penggeledahan yang diizinkan oleh pengadilan itu tampaknya diotorisasi oleh pejabat tertinggi di Departemen Kehakiman. Tetapi rincian surat perintah penggeledahan yang diajukan tim penyidik dan alasan-alasannya masih belum diketahui oleh publik; begitu pula nama hakim yang memberi wewenang tersebut.

Gedung Putih mengatakan tidak diberi pemberitahuan sebelumnya tentang penggeledahan itu.

Secret Service dan petugas penegak hukum terlihat di depan rumah mantan Presiden Donald Trump di Mar-A-Lago di Palm Beach, Florida hari Selasa, 9 Agustus 2022.

Secret Service dan petugas penegak hukum terlihat di depan rumah mantan Presiden Donald Trump di Mar-A-Lago di Palm Beach, Florida hari Selasa, 9 Agustus 2022.

Tinggalkan Gedung Putih, Trump Bawa Dokumen Rahasia

Berdasarkan UU Catatan Presiden Tahun 1978 (US Presidential Records Act of 1978), dokumen-dokumen resmi presiden dan wakil presiden tetap menjadi milik publik, bahkan setelah mereka meninggalkan kantor atau tidak lagi berkuasa. Premis undang-undang itu adalah bahwa dokumen-dokumen itu adalah milik publik Amerika, bukan individu yang menjabat sebagai pemimpin negara.

Sekitar satu tahun setelah meninggalkan Gedung Putih, Trump menyerahkan 15 kotak dokumen dari masa kepresidenannya ke Arsip Nasional, sebagian diantaranya merupakan dokumen-dokumen rahasia. Tetapi tim penyelidik yang menggeledah kantor Trump dan membuka brankas di kawasan tepi Pantai Florida Senin malam mendapati dan membawa lebih banyak dokumen yang tidak diserahkannya pada Arsip Nasional.

Trump Anggap Sepi Penggeledahan FBI

Trump meremehkan penggeledahan itu, sebagaimana yang dilakukannya terhadap penyelidikan terkait pemilu tahun 2020, dan menyebutnya sebagai upaya untuk mencegahnya mencalonkan diri kembali dalam pemilu tahun 2024.

“Ini adalah masa-masa kelam bagi bangsa kita. Rumah saya yang indah di Mar-a-Lago, Palm Beach, Florida, saat ini dikepung, digerebek dan diduduki oleh sekelompok besar agen FBI,” ujar pernyataan presiden itu dalam suatu pernyataan.

Agen Dinas Rahasia Bersenjata berdiri di luar pintu masuk ke kediaman pribadi mantan Presiden Donald Trump di Mar-a-Lago, Palm Beach, Florida Senin malam, 8 Agustus 2022.

Agen Dinas Rahasia Bersenjata berdiri di luar pintu masuk ke kediaman pribadi mantan Presiden Donald Trump di Mar-a-Lago, Palm Beach, Florida Senin malam, 8 Agustus 2022.

“Tidak pernah ada hal seperti ini pernah terjadi terhadap seorang presiden Amerika sebelumnya,” tambahnya seraya menambahkan bahwa penggeledahan itu merupakan hasil “pelanggaran penuntutan, persenjataan Sistem Peradilan dan serangan oleh kelompok kiri radikal Partai Demokrat yang sangat tidak ingin saya mencalonkan diri sebagai presiden tahun 2024.”

Lebih jauh Trump mengklaim bahwa peristiwa penggeledahan oleh FBI itu “hanya dapat terjadi di negara-negara dunia ketiga yang bobrok. Sayangnya Amerika telah menjadi salah satu negara itu, negara korup pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Pengikut Trump Masih Besar

Trump masih memiliki pengikut yang besar di antara basis pemilih Partai Republik, meskipun sejumlah pejabat Partai Republik – seperti mantan Wakil Presiden Mike Pence, Gubernur Florida Ron DeSantis dan lainnya – telah secara luas mengisyaratkan bahwa mereka mungkin akan mencalonkan diri sebagai presiden Partai Republik pada tahun 2024 nanti.

Investigasi yang sedang berlangsung di Departemen Kehakiman juga menyelidiki peran Trump dalam menghasut terjadinya kerusuhan di gedung Kongres pada 6 Januari 2021 ketika sekitar 2.000 pendukungnya menyerbu dan berupaya keras membatalkan proses pengesahan kemenangan Joe Biden dalam pemilu presiden tahun 2020. Dalam rapat umum beberapa jam sebelum serbuan itu, Trump mendesak para pendukungnya untuk mendatangi gedung Kongres dan “berjuang habis-habisan.” Meskipun para pembantunya di Gedung Putih dan Jaksa Agung William Barr berulangkali mengatakan pada Trump bahwa tidak ada bukti telah terjadinya kecurangan dalam penghitungan suara yang dapat membatalkan kekalahannya, Trump tetap menuntut secara terbuka dan pribadi agar Mike Pence – yang ketika itu memimpin proses pengesahan di Kongres – untuk menghentikan sertifikasi penghitungan suara elektoral yang memenangkan Biden. Tetapi Pence menolak melakukannya atas saran para pengacara yang mengatakan kepadanya bahwa Konstitusi Amerika tidak memberinya wewenang untuk melakukan hal itu.

Di Amerika presiden dipilih secara efektif dalam pemilihan terpisah di masing-masing 50 negara bagian, bukan melalui pemilu nasional. Jumlah suara elektoral setiap negara bagian bergantung pada populasinya, di mana negara bagian terbesar memegang kekuasaan paling besar. Para perusuh yang menyerbut gedung Kongres berusaha mencegah anggota-anggota parlemen mengesahkan kemenangan Biden atas Trump, di mana Biden meraih 306 suara elektoral dibanding Trump dengan 232 suara elektoral. [em/jm]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.