redaksiharian.comJakarta, CNBC Indonesia – Rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini, menghentikan kemerosotan lima pekan beruntun. Tidak hanya itu, rupiah juga menjadi salah satu yang terbaik di Asia.

Melansir data Refinitiv, rupiah tercatat melesat 1% sepanjang pekan ini ke Rp 14.835/US$. Dibandingkan mata uang Asia lainnya, rupiah hanya kalah dari won Korea Selatan yang menguat 1,4%.

Bank sentral AS (The Fed) yang diprediksi tidak akan menaikkan suku bunga pada pekan depan membuat rupiah melesat. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 70% The Fed akan mempertahankan suku bunga acuannya di 5% – 5,25%.

Probabilitas tersebut melesat naik setelah perekonomian Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda pelambatan.

Bank investasi Goldman Sachs memproyeksikan ada probabilitas sebesar 25% Amerika Serikat akan mengalami resesi 12 bulan ke depan.

Eropa yang sudah mengalami resesi juga mempengaruhi pergerakan rupiah. Eurostat pada Kamis (8/6/2023) kemarin merevisi pertumbuhan ekonomi zona euro menjadi -0,1% quarter-to-quarter (qtq) pada kuartal I-2023. Pada kuartal sebelumnya, produk domestik bruto (PDB) juga tumbuh negatif, sehingga disebut mengalami resesi teknikal.

Resesi memang memberikan dampak yang buruk, tetapi dalam kondisi “perang” melawan inflasi yang tinggi, itu justru dinanti-nanti. Ketika terjadi resesi, maka aktivitas ekonomi menurun, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal bisa terjadi, sehingga daya beli masyarakat menurun. Itu bisa membuat inflasi turun lebih cepat.

Hal ini lebih baik ketimbang menghadapi inflasi tinggi dalam waktu yang lama. Apalagi misalnya jika perekonomian masih kuat, bisa memicu wage-price spiral.

Sehingga, resesi kali ini justru bisa disambut baik oleh pelaku pasar, rupiah pun mendapat sentimen positif.

Dari dalam negeri, inflasi yang terus menurun juga mendongkrak kinerja rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Mei tahun ini tercatat 0,09% (month to month/mtm) dan 4% (year on year/yoy). Secara bulanan, inflasi Mei adalah yang terendah sejak enam bulan terakhir.

Secara tahunan, inflasi Mei adalah yang terendah sejak Mei 2022 atau setahun terakhir. Inflasi inti melandai menjadi 2,66% (yoy) atau terendah sejak Juli 2022.

Inflasi Mei jauh lebih rendah dibandingkan konsensus pasar. Polling CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Mei 2023 akan menembus 0,29% (mm) dan 4,20% (yoy).

Persis seperti proyeksi BI, inflasi mencapai target sebesar 3% plus minus 1%, di semester pertama tahun ini.

CNBC INDONESIA RESEARCH

research@cnbcindonesia.com