Kementerian Luar Negeri Indonesia menyampaikan keprihatinan dengan semakin tajamnya rivalitas di antara kekuatan besar, yang “jika tidak dikelola dengan baik” maka dikhawatirkan “dapat menciptakan potensi konflik terbuka dan mengganggu stabilitas dan perdamaian yang ada, termasuk di Selat Taiwan.”

Hal ini disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah secara tertulis pada Rabu (3/8) menanggapi lawatan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan pada Selasa (2/8) malam. Meskipun tidak menyebut “kekuatan besar” yang dimaksud, tetapi jelas pernyataan itu ditujukan pada Amerika Serikat dan China, dua negara dengan tingkat perekonomian terbesar di dunia.

Kementerian Luar Negeri Indonesia “mendorong semua pihak melakukan langkah-langkah nyata guna mengurangi ketegangan yang dapat memperburuk situasi.” Pihak kementerian menambahkan, “dunia memerlukan kearifan dan tanggung jawab para pemimpin dunia agar perdamaian dan stabilitas dapat terjaga.”

Secara khusus pernyataan itu menegaskan, Indonesia tetap menganut “kebijakan Satu Cina.”

Mengapa Nancy Pelosi Bersikeras ke Taiwan?

Nancy Pelosi, pemimpin salah satu dari tiga cabang pemerintah Amerika Serikat saat ini, adalah pejabat terpilih AS dengan peringkat tertinggi yang mengunjungi Taiwan sejak Ketua DPR Newt Gingrich datang ke wilayah tersebut pada tahun 1997.

Berbicara pada wartawan seusai pertemuannya dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, Pelosi menegaskan lawatannya adalah untuk menunjukkan bahwa Amerika tidak meninggalkan komitmen pada kepulauan yang memiliki pemerintahan sendiri itu.

“Saat ini dunia menghadapi pilihan antara demokrasi dan otokrasi… Amerika bertekad melestarikan demokrasi di sini, di Taiwan dan di seluruh dunia (agar) tetap kuat,” ujarnya.

Pernyataan itu dikecam keras oleh China, yang menilai lawatan itu bukan untuk menunjukkan atau melindungi demokrasi, tetapi sebagai provokasi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, pada Rabu (3/8), menggarisbawahi hal itu dengan mengatakan “apa yang dilakukan Pelosi sama sekali bukan membela atau melindungi demokrasi, tetapi provokasi dan pelanggaran kedaulatan dan integritas teritorial China. Seperti yang telah ditunjukkan dengan nyata oleh banyak pihak, provokasi berbahaya Pelosi murni bertujuan menciptakan keuntungan politik pribadi. Ini lelucon yang buruk.”

Selama beberapa minggu terakhir ini Tiongkok telah berulangkali memperingatkan “konsekuensi serius” jika lawatan itu jadi dilakukan. Beberapa saat sebelum pesawat yang membawa delegasi Kongres AS tiba di Taiwan, sejumlah pesawat tempur dan kapal perang milik China tampak bergerak mendekati garis atau batas median Selat Taiwan.

Kantor berita Reuters melaporkan pesawat-pesawat tempur China juga melakukan gerakan taktis yang “sangat provokatif” dengan menyentuh garis pemisah tidak resmi antara kedua wilayah itu, sebelum akhirnya berputar kembali ke sisi lain di Selat Taiwan.

Dampak ke Kawasan Indo-Pasifik

Diwawancarai melalui telpon, akademisi dan pengamat pertahanan Dr. Connie Rahakundini menyampaikan kekhawatiran akan dampak luas lawatan Nancy Pelosi ke Taiwan.

Pengamat bidang militer Connie Rahakundini Bakrie, . (Foto: Dokumen pribadi)

Pengamat bidang militer Connie Rahakundini Bakrie, . (Foto: Dokumen pribadi)

“Nancy Pelosi sedianya menyadari bahwa lawatan itu dilakukan pada saat yang salah sekali dan akan backfire pada Amerika. Pertama, ini tidak saja berdampak pada (situasi di) Selat Taiwan, tetapi juga pada Laut Cina Selatan. Jika terjadi sesuatu di Laut Cina Selatan, dampaknya adalah ke ASEAN.

Saya khawatir betul spill over-nya kemana-mana akan terjadi. Jangan sampai China misalnya menerapkan ADIZ (Air Defense Identification Zone) atau Zona Identifikasi Pertahanan Udara ketika terjadi konflik di Laut Cina Timur. Jika Tiongkok menerapkan ADIZ saja, ASEAN akan terpecah dan Indo-Pasifik bergolak. Mengapa demikian? Karena sekarang jika kita buka peta dan melihat kawasan ini, kita menemukan the Quad, Aukus, FPDA (Five Power Defense Agreement) di situ. Mau bikin NATO-nya Indo-Pasifik? Kita harus lawan.”

Lebih jauh Connie, yang lama menempuh pendidikan di Amerika Serikat, mendorong perlunya memperkuat kembali gerakan non-blok.

“Kita punya Konferensi Asia-Afrika yang melahirkan dasasila Bandung, yang salah satu point pentingnya adalah menghapuskan aliansi pertahanan karena membuat dunia menjadi tidak seimbang. Apa yang terjadi di Ukraina adalah akibat aliansi NATO. Jangan sampai Aukus atau the Quad menjadi aliansi tersembunyi di Indo-Pasifik yang akan menghancurkan kawasan ini. Ini saatnya kita revisit non-aligned movement.”

Kekhawatiran senada disampaikan Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional di Universitas Indonesia.

Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. (Foto: Dokumen pribadi)

Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. (Foto: Dokumen pribadi)

“Akibat provokasi yang dilakukan oleh Amerika maka dunia akan terdampak sangat luar biasa. Sama dampaknya dan besarnya saat awal COVID-19 merebak,” ujarnya. Bukan tidak mungkin, tambahnya, China akan beraliansi dengan Rusia dan negara lain untuk melawan keangkuhan Amerika Serikat.

“China juga berpotensi melancarkan serangan senjata ke Taiwan, sama seperti Rusia melancarkan operasi militer khusus (di Ukraina.red). Dasar yang digunakan adalah menjaga integritas teritorial China di mana Taiwan melakukan pemberontakan dan memisahkan diri dari China.”

Gedung Putih Kembali Tegaskan Kebijakan Satu Cina

Di Washington DC, Gedung Putih, pada Rabu (3/8), menegaskan kembali bahwa lawatan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan “tidak mengubah kebijakan Amerika sejak lama yang telah sangat jelas.”

Juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre menegaskan “tidak ada alasan bagi Beijing untuk mengubah lawatan ini – yang konsisten dengan kebijakan kami – menjadi semacam krisis atau menggunakannya sebagai alasan untuk meningkatkan aktivitas militer secara agresif di atau sekitar Selat Taiwan.” [em/rs]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.