Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, berkah dari lonjakan harga komoditas tidak akan terasa lagi pada tahun depan. Hal ini, katanya, akan berimbas kepada penurunan pendapatan negara.
“Karena tahun ini windfall profit yang berasal dari komoditas sangat tinggi. kita memproyeksikan dari sisi pajak, kita mendapatkan Rp279 triliun penerimaan pajak yang berasal dari komoditas. Ini mungkin tidak akan berulang atau tidak akan setinggi ini pada tahun depan,” ungkap Menkeu dalam telekonferensi pers, usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (8/8).
Ia mengatakan, dari sisi bea cukai, negara mendapatkan penerimaan yang mencapai Rp48,9 triliun, terutama minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada tahun ini. Penerimaan itu akan menurun tahun depan. Harga minyak dunia juga diperkirakan akan melemah pada level USD90 per barel pada tahun depan, dari semula USD95 hingga di atas USD100 per barel pada tahun ini.
Harga-harga komoditas lainnya pun, ungkap Sri, juga akan mengalami pelemahan, termasuk batu bara yang saat ini harganya bertengger di level USD244 per ton. Pada tahun depan, harga batu batu bara diperkirakan turun menjadi USD200 per ton. Harga CPO juga diperkirakan akan anjlok di bawah USD1.000 per ton pada tahun mendatang.
Proyeksi berakhirnya booming harga komoditas ini merupakan sinyal kuat bahwa ketidakpastian perekonomian global masih akan terjadi pada tahun depan. Apalagi, ungkap Menkeu, IMF sudah mengkreksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini menjadi 3,2 persen dari semula 3,6 persen, sementara pertumbuhan ekonomi tahun depan menjadi 2,9 persen dari semula 3,6 persen.
“Ini artinya bahwa lingkungan global kita akan menjadi melemah, sementara tekanan inflasi justru meningkat. Menurut IMF tahun ini inflasi akan naik 6,6 persen di negara maju, sementara inflasi di negara-negara berkembang akan pada level 9,5 persen. Ini juga naik, sekitar 0,8 percentage point,” tuturnya.
Dengan kenaikan laju inflasi yang sangat tinggi di negara maju tersebut, kata Sri, seluruh kebijakan moneter dan likuditas pun akan diperketat, sehingga memicu keluarnya modal asing (capital outflow) dan terjadinya volatiilitas di sektor keuangan.
Menurut Sri, pemerintah akan berusaha memperkuat perekonomian domestik agar sentimen external yang bersifat negatif tidak terlalu berdampak signifikan bagi Indonesia. Selain menjaga konsumsi masyarakat, kata Menkeu, pemerintah akan memaksimalkan belanja negara.
“Bapak Presiden meminta untuk tahun 2022 seluruh kementerian dan lembaga fokus merealisir belanja pemerintah dan terutama dipakai untuk membeli produk-produk yang memiliki kandungan lokal tinggi. Dengan demikian program Bangga Buatan Indonesia ini semuanya akan bisa mendukung pemulihan ekonomi yang makin kuat di kuartal ketiga dan keempat pada saat lingkungan global sedang mengalami kecenderungan bergejolak,” tambahnya.
Rancangan Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun depan akan disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidato Nota Keuangan di DPR pada 16 Agustus mendatang. Menkeu memastikan bahwa dalam APBN 2023, pemerintah akan senantiasa menjaga defisit APBN di bawah tiga persen dan akan tetap mempertahankan program prioritas pemerintah yakni pengembangan sumber saya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur termasuk ibu kota negara (IKN) Nusantara dan penyelenggaraan pemilu.
“Kita akan tetap menganggarkan anggaran pendidikan 20 persen, anggaran kesehatan tidak lagi memberikan alokasi khusus untuk pandemi, namun anggaran kesehatan yang regular akan naik dari Rp133 triliun menjadi Rp168,4 triliun. Ini untuk memperkuat sistem kesehatan di Indonesia. Sedangkan subsidi dan kompensasi tahun ini diperkirakan mencapai Rp502 triliun, tahun depan juga masih akan sangat besar yang nanti angka finalnya akan disampaikan oleh Bapak Presiden. Artinya tahun depan untuk beberapa subsidi dari beberapa barang yang diatur pemerintah masih akan dicoba untuk distabilkan, dan dengan konsekuensi subsidi yang meningkat,” katanya.
Mampukah Ekonomi Domestik Menopang Ketidakpastian Global?
Ekonom Indef Eko Listyanto mengungkapkan apa yang disampaikan oleh Menteri Keuangan bahwa booming harga komoditas yang bersifat sementara akan berlangsung lebih singkat dari biasanya adalah kondisi yang cukup realistis,. Menurutnya, hal ini sebagai dampak dari kondisi geo politik global yang masih cukup memanas.
“Dari situ sebetulnya ada potensi demand yang akan hilang, disertai dengan kenaikan inflasi. Jadi negara-negara yang mitra dagang utama kita yang biasanya minta komoditas banyak dari kita, mereka menghadapi gejolak inflasi, lalu daya belinya juga tergerus. Dari situ kemudian permintaan ke Indonesianya, pelan-pelan menjadi berkurang. Kalau itu terjadi, wajar kalau kemudian pemerintah menyatakan booming komoditas tidak akan lama sehingga perlu penguatan strategi,” ungkapnya kepada VOA.
Senada dengan Menkeu, Eko menilai bahwa perekonomian domestiklah yang hanya bisa diandalkan ketika perekonomian global sedang lesu. Namun, ujar Eko, permasalahanya adalah perekonomian domestik pun belum sepenuhnya pulih dari pandemi COVID-19, bahkan ada beberapa sektor yang masih mengalami kesulitan..
“Sehingga apa yang harus dilakukan? Memang bantalannya subsidi. Kalau dengan subsidi berarti harga-harga bisa ditahan untuk tidak naik. Tapi konsekuensinya adalah anggaran pemerintah untuk menahan itu gede-gedean, diperkirakan sampai Rp500-an triliun untuk subsidi energi dan beberapa subsidi lainnya,” tambahnya.
Sebenarnya, lanjut Eko, pemerintah bisa mengandalkan belanja pemerintah untuk kembali mengdongkrak perekenomian tanah air. Namun sayangnya, realisasi belanja pemerintah pada triwulan pertama dan kedua pun belum optimal. Hal ini menggambarkan kapasitas untuk menyerap anggaran dan mengeksekusi berbanding terbalik dengan perencanaannya.
“Itulah yang harusnya dibenahi kalau mau fokus ke dalam negeri dan ini memang salah satu alternatif. Tinggal bagaimana mendorong belanja pemerintah. Pada saat ekonomi lesu, belanja pemerintah itu penting, untuk bisa memastikan bahwa ekonomi bisa terungkit,” pungkasnya. [gi/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.