Hasil survei yang dilakukan Surabaya Survey Center terhadap 1.200 responden di Jawa Timur pada 1-10 Agustus 2022, menjadi gambaran situasi politik menjelang Pemilu 2024 yang menandai berakhirnya periode pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Di antara calon presiden yang diperkirakan akan bertarung dalam pemilu nanti, sosok Ganjar Pranowo masih menjadi kandidat terkuat, dengan meraih 25 persen suara responden dalam survei tersebut. Ia jauh mengungguli kandidat lainnya, Prabowo Subianto, yang berada di urutan kedua dengan perolehan suara 18,2 persen.
Menurut Direktur Surabaya Survey Center, Mochtar W. Oetomo, keunggulan Ganjar dalam survei itu senada dengan elektabilitas PDI Perjuangan yang berada di puncak dengan 27,2 persen. Selain itu, kata Mochtar, eksistensi Ganjar Pranowo di media sosial turut mengangkat namanya di kalangan pemilih muda.
“Ada banyak faktor tentunya, pertama PDIP sebagai partai pemenang juga di Jawa Timur pada 2019. Kemudian yang kedua, kita tahu bersama Ganjar sangat masif di medsos, dan berdasarkan data kita tahu bahwa pemilih milenial, generasi Y dan generasi Z itu angkanya sudah 51 persen lebih, dan prediksi saya pada Pemilu 2024 nanti sudah 54 persen. Dan kita tahu bahwa habit kaum milenial ini sangat dekat dengan medsos,” ujar Mochtar.
Ia juga memberi catatan terkait adanya 57,8 persen responden yang masih mungkin mengubah pilihan politiknya, meski yang menyatakan mantap dengan pilihannya mencapai 42,2 persen. Yang menjadi pertimbangan pilihan nanti adalah program yang ditawarkan, sosok tokoh atau pimpinan partai politik, hingga faktor uang dan sembako yang dapat mempengaruhi perubahan pilihan.
Partai politik maupun kandidat peserta pemilihan presiden dan pemilu legislatif, kata Mochtar, perlu memperhatikan faktor-faktor yang dapat mengubah pilihan publik.
“Ya sangat mungkin (berubah), karena tadi kita lihat bahwa swing voters itu masih 57 persen. Kemungkinan berubah pilihan, apakah dalam konteks Pilpres, dalam konteks Pilgub, maupun Pileg, itu masih sangat tinggi. Dan tadi, faktor-faktornya juga disebutkan misalnya, satu adalah visi misi yang disampaikan oleh Partai, olah Capres, oleh Cagub, kemudian ada faktor perintah Kyai misalnya, ada faktor sembako, bahkan ada faktor uang. Jadi, sangat mungkin semua itu berubah karena dinamika politik masih akan terus berlangsung,” tambahnya.
Sementara itu, peneliti senior di Surabaya Survey Center, Surokim Abdussalam, mencermati persoalan korupsi yang masih belum menjadi pertimbangan penting dalam memilih di Pemilu 2024. Meskipun faktor ekonomi dan ketokohan berpengaruh, ia memperkirakan mantan narapidana kasus korupsi akan sulit mendapat kepercayaan dan suara publik kembali.
“Dua case yang sulit untuk rebound, yang pertama korupsi tertangkap tangan KPK. Jadi, yang tertangkap tangan KPK, yang kedua, perempuan (asusila). Jadi, sepertinya itu sulit termaafkan untuk kontestasi di Indonesia. Pemberitaannya masif, biasanya terkabar, terkonfirmasi ke publik, dan sepertinya publik sulit untuk kembali memilih,” kata Surokim.
Surokim yang juga merupakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo, Madura, menyayangkan adanya regulasi dibolehkannya mantan napi koruptor menjadi calon legislatif di Pemilu 2024.
“Tentu sedih ya, sepertinya kita tidak mampu memperjuangkan soal etis itu. Tapi kalau kemudian regulasi kita masih memungkinkan untuk itu, cara terbaik kita adalah menggalang dukungan publik untuk memberi hukuman. Kembali mengelu-elukan bahwa masih banyak calon lain yang sebenarnya lebih bersih, lebih punya daya juang memperbaiki negeri ini, dan saya kira no untuk yang dua case tadi itu,” tandasnya. [pr/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.