redaksiharian.com – Hampir 8 juta anak di seluruh dunia berisiko mengalami malnutrisi akut yang tidak dapat disembuhkan jika tidak segera mendapatkan perawatan khusus. Kerusakan fisik dan kognitif yang terjadi akibat nutrisi yang tidak memadai di dalam rahim dan selama dua tahun pertama kehidupan dapat bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan.

Stunting adalah kondisi ketika seorang anak memiliki tinggi badan yang rendah untuk anak seusianya. Hal ini biasanya disebabkan oleh kekurangan gizi, infeksi berulang, dan kurangnya sosialisasi mengenai hal ini.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan anak yang mengalami stunting sebagai anak yang memiliki tinggi badan setidaknya dua standar lebih rendah dari rata-rata anak seusianya.

Stunting berbeda dengan wasting . Jika stunting adalah tinggi badan yang rendah, sedangkan wasting adalah berat badan yang rendah untuk anak.

Dampak stunting di dunia nyata tidak hanya terbatas pada pertumbuhan fisik. Anak yang mengalami stunting juga memiliki sistem kekebalan tubuh, fungsi otak, dan perkembangan organ yang lebih buruk. Kinerjanya pun di bawah rata-rata yang mengakibatkan terbatasnya produktivitas dan ancaman kesehatan pada keturunan mereka.

Akan tetapi, ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk mencegah stunting terutama pada 1.000 hari pertama antara kehamilan dan ulang tahun kedua anak. Beberapa efek dari stunting pada anak dapat dikurangi dan bahkan dipulihkan.

Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama yang diikuti dengan makanan bergizi sejak usia enam bulan, merupakan faktor terpenting dalam perkembangan dan kelangsungan hidup anak yang sehat, serta dapat mengurangi angka kematian balita akibat malnutrisi parah sebesar 19 persen.

Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap stunting pada anak, dan faktor-faktor ini sering kali saling berkaitan. Beberapa faktor umum yang terkait dengan stunting antara lain:

· Gizi buruk dan kurangnya akses terhadap makanan yang beragam.

· Sanitasi yang buruk dan tidak ada akses ke air minum bersih.

· Kurangnya layanan kesehatan yang memadai untuk ibu dan anak.

· Stimulasi psikososial yang tidak baik antara orang tua dan bayi.

Tak satu pun dari penyebab ini yang berdiri sendiri. Kesetaraan gender, keterlibatan laki-laki dalam pengasuhan anak, dan konflik keluarga, semuanya dapat berkontribusi pada stimulasi psikososial anak. Konflik seperti pendapatan, harga pangan, dan krisis iklim dapat memengaruhi ketersediaan pangan yang memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi.

Stunting sering kali bersifat lintas generasi. Anak yang mengalami stunting memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan keturunan penderita stunting juga. Anak yang mengalami stunting juga lebih rentan mengalami kelebihan berat badan saat dewasa sehingga menimbulkan risiko kesehatan.

Setelah seorang anak lahir, penting bagi ibu dan bayi untuk mendapatkan perawatan pascakelahiran yang tepat. Bagi bayi yang lahir dari keluarga miskin, salah satu senjata terpenting untuk memerangi stunting adalah ASI, yang memperkuat sistem kekebalan tubuh mereka dan memberikan nutrisi yang dibutuhkan anak.

Jika seorang ibu kekurangan gizi, kemungkinan besar bayinya akan lahir dengan berat badan kurang. Hal ini akan memicu siklus stunting . Tanpa perawatan pascakelahiran dan nutrisi yang tepat, bayi kemungkinan besar akan mengalami pertumbuhan yang terhambat.

Jika malnutrisi tidak segera diobati, anak akan tumbuh menjadi seorang ibu yang kekurangan gizi dan memiliki anak terhambat pertumbuhannya.

Di luar siklus transgenerasi stunting , ada beberapa faktor lain yang berperan. Anak-anak yang menderita stunting mungkin tidak akan pernah mencapai potensi kognitif penuh mereka sehingga menyebabkan IQ yang lebih rendah dan mengganggu perkembangan otak. Hal ini juga memengaruhi keterampilan sosio-emosional dan kesehatan secara keseluruhan.

Semua faktor ini pada akhirnya berhubungan dengan potensi jangka panjang termasuk kemungkinan ekonomi dan kesehatan.

Di seluruh Indonesia, kenaikan suhu, perubahan pola curah hujan, dan kejadian cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir disebabkan oleh perubahan iklim. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas makanan yang diproduksi di beberapa wilayah Indonesia.

Di provinsi Nusa Tenggara Timur, angka kekurangan gizi cukup tinggi. Penduduk masih bergantung kepada pertanian sebagai mata pencaharian mereka sehingga penurunan produksi pangan akan mengakibatkan berkurangnya makanan bergizi. Lebih dari 12 persen anak menderita malnutrisi akut yang parah atau wasting , dan 42 persen menderita stunting . (Dwi Wahyu Cahyono)***