Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kuota penyaluran solar bersubsidi tahun 2022 sebesar 15,1 juta kiloliter. Sedangkan untuk pertalite bersubsidi sebesar 23,05 juta kiloliter. Adapun realisasi penyaluran solar hingga Juli 2022 telah mencapai 65 persen dan pertalite mencapai 73 persen dari kuota masing-masing.

Dengan penyaluran rata-rata solar dan pertalite perbulan sebesar masing-masing 1,5 juta kiloliter dan 2,5 juta kiloliter, Sri mengungkapkan, kuota kedua jenis BBM bersubsidi ini akan habis pada Oktober 2022.

“Ini yang menjadi persoalan. Berarti seluruh Rp502 triliun (jumlah biaya subsidi dan kompensasi BBM.red) akan habis pada bulan Oktober,” jelas Sri Mulyani secara daring, pada Jumat (26/8).

Ia menjelaskan belanja subsidi dan kompensasi BBM akan jauh lebih besar jika harga minyak dunia lebih tinggi, kurs rupiah melemah, dan konsumsi yang lebih tinggi.

Semisal, harga minyak menjadi $105 per barel dan kurs Rp14.700. Hitungan lainnya, konsumsi pertalite meningkat dari 23,05 juta menjadi 29,07 juta kiloliter dan solar dari 15,1 juta menjadi 17,44 juta kiloliter.

Sri mengatakan, dibutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp195,6 triliun untuk ketersediaan BBM bersubsidi ini.

“Artinya jumlah subsidi kita akan mencapai Rp698 triliun dengan volume, kurs, dan harga minyak yang sekarang terjadi dan trennya sampai akhir tahun,” tambahnya.

Namun, ia menekankan konsumsi dan subsidi solar dan pertalite subsidi ini lebih dinikmati rumah tangga yang mampu ketimbang rumah tangga miskin. Data pemerintah menyebutkan 89 persen konsumsi solar dinikmati dunia usaha dan 11 persen dinikmati rumah tangga.

Tapi dari yang dinikmati rumah tangga, 95 persen di antaranya dinikmati rumah tangga yang mampu. Lebih jauh ia mengatakan, pertalite 86 persen dinikmati rumah tangga dan 14 persen dinikmati dunia usaha. Lagi-lagi, dari konsumsi rumah tangga, 80 persen dinikmati rumah tangga mampu dan 20 persen dinikmati rumah tangga miskin.

“Ini artinya dengan ratusan triliun subsidi yang kita berikan, yang menikmati adalah kelompok yang justru paling mampu. Karena mereka yang konsumsi BBM itu,” ujar Sri.

Menteri Keuangan itu kemudian mengatakan pemerintah akan melakukan sejumlah langkah-langkah untuk menjaga kesehatan APBN, tanpa mencabut subsidi. Namun, menurutnya pemerintah perlu memperbaiki distribusi BBM subsidi agar lebih tepat sasaran.

Pengamat Sarankan Kenaikan Harga BBM Tidak Tinggi

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyarankan pemerintah tidak menaikkan harga solar dan pertalite terlalu tinggi.

Ini supaya inflasi yang disebabkan karena kenaikan harga BBM tidak terlalu tinggi dan tidak semakin menambah beban hidup masyarakat.

“Kalau yang beredar rencana kenaikan harga BBM sekitar 30 persen. Ini terlalu tinggi, 5 persen saja naiknya sesuai pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Rasional dan dilakukan bertahap,” jelas Tauhid kepada VOA, Jumat (26/8).

Tauhid juga meminta pemerintah transparan dalam penggunaan sejumlah indikator perhitungan APBN 2022. Sebagai contoh, katanya, harga minyak yang saat ini berkisar $93 per barel, namun pemerintah memakai asumsi $105 per barel.

Selain itu, ia menyarankan pemerintah agar tambahan biaya subsidi dan kompensasi BBM tidak dibebankan pada APBN 2023. Sebab, pemindahan ini akan menimbulkan ketidakpastian bagi PLN dan Pertamina yang menanggung kekurangan harga ekonomi.

“Padahal tahun depan itu juga masih ada kompensasi yang besarannya hampir sama Rp200 triliun. Itu tidak dibebankan karena akan masuk 2024. Karena kalau dibebankan 2023, defisitnya bisa di atas 3 persen defisitnya. Nah ini bisa melanggar Undang-undang,” kata Tauhid.

Ia menambahkan solusi yang lain yaitu dengan mengubah target inflasi di APBN 2022 dari 3,9 persen menjadi 4,5 persen. Kebijakan ini setidaknya bisa membuat pemerintah lebih leluasa mengatur APBN tanpa melanggar UU APBN. [sm/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.