redaksiharian.com – Kendaraan listrik tidak menjadi solusi untuk mengurangi emisi karbon kalau dua masalah penting pada dampak lingkungan tidak ditangani sejak awal. Keduanya adalah masalah sumber listrik dan limbah baterai.
Kendaraan listrik memang tidak akan menggunakan Bahan Bakar Minyak ( BBM ) sehingga memberikan dampak besar untuk pengurangan emisi karbon saat ekosistem kendaraan listrik sudah semakin bertumbuh. Akan tetapi, energi listrik yang dibutuhkan baterai kendaraan listrik tersebut masih lebih banyak didapatkan dari pembakaran batubara melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU ).
Data di situs milik BPS menyebutkan jenis pembangkit listrik yang terpasang. Data tahun 2021 itu memperlihatkan bahwa jenis pembangkit listrik yang paling banyak memasok adalah PLTU .
Dari kapasitas 66.514MW secara keseluruhan, sebanyak 33.092MW berasal dari PLTU . Jumlah itu setara dengan hampir 50% listrik berasal dari pembakaran fosil di PLTU .
Selain PLTU yang masih menguasai sumber energi listrik , baterai juga masalah lain yang memberikan dampak pada lingkungan. Baterai merupakan limbah berbahaya yang merusak lingkungan bila dibuang begitu saja.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong, mereka setuju dengan upaya pemerintah mendorong penggunaan kendaraan listrik menggunakan kendaraan BBM . Namun, masalah baterai dan PLTU harus diselesaikan lebih dulu.
Ia mengatakan, secara umum, semua limbah baterai masuk kategori Bahan Beracun Berbahaya (B3) karena mengandung logam berat. Bila tidak dikelola dengan baik, maka akan mencemari media lingkungan seperti tanah, air, dan udara.
“Jenis baterai sekali pakai menurut saya masuk kategori yang lebih mencemari karena penggunaannya yang sangat umum, dan publik masih membuangnya layaknya sampah biasa,” kata Meiki di Bandung, Rabu, 22 Februari 2023.
Pertumbuhan kendaraan listrik juga akan berdampak pada meningkatnya limbah B3. Apalagi, masyarakat berpotensi untuk membuangnya begitu saja ke media lingkungan, atau bahkan munculnya kegiatan pemanfaatan limbah baterai liar di masyarakat.
Untuk mengurangi dampak lingkungan, baterai itu harus didaur ulang. Meskipun tidak 100 persen menyelesaikan masalah, tapi paling tidak mengurangi volume atau jumlah limbah baterai.
“Daur ulang bisa berupa memperpanjang dan atau mengguna ulang baterai sampai dengan 2 kali siklus hidupnya. Jika sudah habis siklusnya, beberapa komponen akan dilepas lalu diguna ulang untuk keperluan baterai yang baru kembali,” ujarnya.
Ia pun mendorong pemerintah untuk mewujudkan peta jalan pengelolaan limbah baterai kendaraan listrik . Salah satunya dengan keberadaan PT Nasional Hijau Lestari yang ditunjuk untuk mendaur ulang limbah baterai.
Selain itu, produsen otomotif juga harus terlibat dalam pengelolaan limbah baterai. UU Sampah sudah menegaskan mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR) yang harus dipatuhi. Artinya, produsen baterai dan otomotif harus turut bertanggung jawab untuk mengelola limbah baterai.
Sumber pasokan listrik juga merupakan masalah lingkungan yang mengikuti pada rencana pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik . Pasokan listrik di Indonesia hampir 50% dari PLTU yang juga hasil dari pembakaran batu bara dan energi fosil lainnya.
“Jelas tujuan zero carbon dan atau menekan emisi tidak akan tercapai selama sumber listrik masih dari PLTU batu bara dan energi fosil lainnya seperti minyak bumi dan LNG,” kata Meiki.
Karena itulah, bila tujuan clean energy ingin tercapai, ia menyarankan untuk mempensiunkan segera PLTU batubara dan energi fosil lainnya. Pemerintah juga harus mengimplementasikan kebijakan secara menyeluruh untuk mengatasi dampak lingkungan dari masalah transportasi itu.
“Pemerintah harus memperbanyak bauran energi terbarukan yang ramah lingkungan dan HAM, yang adil serta berkelanjutan. Pemerintah juga harus menambah sarana transportasi masal yang murah dan berkeadilan, terjangkau oleh seluruh rakyat,” imbuhnya.
Kekhawatiran dampak lingkungan dari keberadaan kendaraan listrik juga terjadi di negara-negara lain. Dari beberapa sumber literasi berita luar negeri, industri daur ulang harus dipersiapkan sejak sekarang sebelum menghadapi membanjirnya baterai mati sekitar 10 tahun ke depan.
Pada tahun 2030, Uni Eropa mengharapkan sudah ada 30 juta mobil listrik yang lalu-lalang di jalan raya. Hal itu mengkhawatirkan Anderson, Wakil Direktur Birmingham Centre for Strategic Elements and Critical Materials, karena memikirkan apa yang akan terjadi dengan baterai-baterai yang sudah mati.
Baterai memang menjadi pembeda utama antara kendaraan BBM dan kendaraan listrik . Baterai atau aki pada kendaraan BBM sudah bisa didaur ulang, namun hal yang sama tidak bisa dipastikan untuk jenis lithium-ion yang digunakan di kendaraan listrik .
Baterai kendaraan listrik jelas lebih besar dan lebih berat daripada kendaraan BBM . Baterai itu disusun dari ratusan sel sehingga harus dibongkar ketika sudah tidak digunakan. Tetapi, unsur di dalamnya menggunakan material berbahaya dan memiliki kemungkinan meledak apabila pembongkarnya tidak benar.
“Sekarang ini, secara global, sulit mendapatkan angka pasti seberapa banyak baterai lithium-ion bisa didaur ulang, tapi angka yang banyak disebutkan sekitar 5%. Di bagian negara lain, ada yang menyebutkan kurang dari itu.
Dalam 10-15 tahun lagi, akan ada banyak sekali baterai yang sudah habis penggunaannya, karena itu sangat penting menyiapkan industri daur ulang,” kata Anderson.
Pertumbuhan industri baterai memang sedang meningkat di Eropa. Pada tahun 2030, diperkirakan sudah akan ada 25 pabrik besar yang disebut gigafactories. Salah satu perusahaan yang sudah berdiri, Northvolt, bahkan sudah menerima pesanan senilai 30 miliar dolar AS untuk memasok baterai ke merek BMW, Volkswagen, Volvo, dan Polestar.
Menurut Tom Welton, Presiden Royal Society of Chemistry di London, Inggris, kita memang membutuhkan kendaraan listrik untuk mengganti kendaraan BBM . Tetapi pada saat bersamaan, kita harus memikirkan tentang penggunaan ulang atau daur ulang baterai yang sudah tidak terpakai.
“Baterai kendaraan listrik punya masa pakai yang tetap. Tsunami baterai akan terjadi. Kita harus lebih dari siap saat itu terjadi. Pemerintah dan sektor swasta harus berinvestasi juga untuk kesiapan itu,” kata Tom.***