redaksiharian.com – Industri Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Tekonologi (LPBBTI) atau fintech lending peer-to-peer lending mengimbau pemberi pinjaman (lender) untuk memahami risiko sebelum memberikan pendanaan.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia ( AFTECH ) Pandu Sjahrir mengatakan, literasi keuangan konsumen fintech baik pemberi pinjaman (lender) maupun penerima pinjaman (borrower) masih perlu ditingkatkan.
“Pemahaman tentang hak dan kewajiban serta risiko dapat mendorong penggunaan fintech lending yang aman dan nyaman bagi konsumen,” ujar dia dalam Media Luncheon, Kamis (8/6/2023).
Pandu menjelaskan, pemberi pinjaman (lender) dapat memanfaatkan fintech finanial planner belum mengambil atau memberikan pinjaman di fintech.
Fasilitas ini merupakan salah satu model bisnis fintech di AFTECH.
“Utamanya dalam memastikan pemberi pinjaman memiliki literasi yang cukup akan risiko dan menjadi semacam certified investor,” imbuh Pandu.
Co Founder dan CEO Investree Adrian Gunadi mejelaskan, pandemi Covid-19 berdampak pada kemampuan bayar penerima pinjaman (borrower) yang dalam Investree adalah UMKM.
Pandemi Covid-19 berdampak negatif pada rantai pasok secara global. UMKM tidak mampu memenuhi permintaan konsumen, dan berimbas langsung ke pemasukan.
“Sehingga berdampak pada kemampuan mereka membayar pinjaman secara tepat waktu,” imbuh dia.
Untuk itu, pemberi pinjaman (lender) perlu memahami profil penerima pinjaman (borrower) berserta risikonya.
Pengalaman Investree
Investree menerima 3.948 komplain lender individu sampai April 2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak 78 persen merupakan tipe pinjaman dengan rating B sampai C-.
Artinya, komplain lender individu tersebut terkait dengan pinjaman yang masuk aktegori risiko menengah-tinggi.
“Sehingga keputusan untuk memilih imbal hasil dan juga tingkat risiko yang melekat di pinjaman masing-masing, sepenuhnya ada di tangan lender,” tegas dia.
Adrian yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menuturkan, industri fintech memang dapat bekerja sama dengan asuransi penjaminan untuk mitigasi risiko.
Namun, regulasi dari OJK itu tidak secara spesifik menyebutkan asuransi menjadi jaminan atas pendanaan fintech lending.
Pihaknya juga membuka kemungknan pembahasan dengan industri asuransi untuk meracik produk asuransi khusus untuk fintech lending.
“Kami tidak mau asuransi (penjaminan) jadi moral hazard. Kalau pinjam di fintech ada asuransi penjaminnya. Jadi pinjam saja tidak usah bayar, nanti ada asuransinya. Itu kan moral hazard nyebutnya,” ungkap dia.
Adrian menegaskan, asuransi tidak bisa menjadi penjamin, tetapi hanya sebagai bantalan. Fintech harus melihat transaksi sebagai basis.
Mekanisme asuransi dalam P2P lending
Sementara Kepala Departemen pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Triyono Gani mengungkapkan, pihaknya akan berdiskusi untuk membahas mekanisme asuransi di dalam penjaminan P2P Lending.
“Walaupun banyak yang salah kaprah. Artinya, yang namanya partisipasi di fintech lending ini harusnya lender memiliki kemampuan atas risiko itu sendiri, orang yang masuk harus mengerti risiko,” jelas Triyono.
Selain itu, ia mengimbau seluruh platform fintech harus lebih banyak memberikan edukasi kepada masyarakat.
Hal tersebut termasuk salah satunya risiko yang ada terkait pemberian pinjaman di paltform fintech lending.
“OJK mengimbau agar seluruh platform fintech lending dapat meningkatkan edukasi finansial sehingga masyarakat dapat mengambil keputusan terkait keuangan yang bijak dan memahami risiko dari memberikan pendanaan secara cermat,” tandas Triyono.
Sebagai informasi, akumulasi jumlah pinjaman fintech lending meningkat dari Rp 3 triliun pada Januari 2018 menjadi RP 17,3 triliun pada April 2023.
Jumlah tersebut rata-rata tumbuh 42 persen setiap tahun.