redaksiharian.com – Indonesia mulai kembali dibanjiri aliran dana asing (inflow) terutama ke pasar obligasi. Sejumlah ekonom memandang membanjirnya investor asing di tanah air disebabkan karena melihat baiknya fundamental perekonomian Indonesia saat ini dan ke depan.

Merujuk data Bank Indonesia (BI) yang dikutip CNBC Indonesia Selasa (13/3/2022) menunjukkan data transaksi 5-8 Desember, non residen di pasar keuangan domestik membeli neto Rp 1,77 triliun.

Transaksi tersebut meliputi beli neto Rp 8,45 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), sementara pada pasar saham terjadi jual neto Rp 6,68 triliun.

Head Economic and Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menjelaskan, pasar saat ini mulai mencari negara mana yang secara fundamental ekonominya bagus dan Indonesia merupakan salah satunya.

“Salah satu eksternal kita terbilang kuat. Tercatat surplus neraca perdagangan mencapai rekor tertinggi sepanjang dua tahun ke belakang,” jelas Enrico kepada CNBC Indonesia saat dihubungi.

Seperti diketahui, sejak Mei 2020 atau selama 30 bulan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Terakhir pada neraca perdagangan Oktober mengalami surplus sebesar US$ 5,67 miliar atau naik 12,3% dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Selain neraca perdagangan, kata Enrico juga current account atau transaksi berjalan Indonesia yang diperkirakan masih positif di tahun ini. Juga didukung karena pertumbuhan ekonomi RI yang tidak seperti banyak negara lain yang diramal akan masuk ke jurang resesi.

“Growth kita memang akan terkena imbas resesi, tapi tidak menjadi full grown recession, yang terjadi adalah kita melambat,” ujarnya. UOB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan mencapai 5,4% (yoy) dan akan melambat menjadi 4,9% (yoy) pada 2023.

Faktor lainnya yang juga membuat ramai-ramai asing mengalirkan uangnya di Indonesia, juga lebih disebabkan karena sinyal suku bunga The Fed yang kelihatannya mulai mengendurkan kenaikannya, saat ini sebesar 3,75% – 4%.

Pun spread dengan suku bunga kebijakan BI saat ini yang sebesar 5,25% dinilai cukup kompetitif dan menarik asing untuk masuk.

“Sehingga kalau mereka masuk sekarang secara portofolio itu punya return bisa dari beberapa aspek. Yaitu from the price in dan currency gain. Karena saya melihat justru pada saat The Fed akan memuncak, nanti rupiah akan menguat secara cepat. Jadi, makanya funds banyak masuk,” jelas Enrico.

Senada, Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, inflow yang masuk di pasar obligasi, disebabkan karena ekspektasi inflasi Indonesia yang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.

Inflasi di tanah air sebelumnya diperkirakan inflasi akan tembus di atas 7% (year on year/yoy), namun hingga November 2022 inflasi Indonesia mencapai 5,42% (yoy) turun dari bulan sebelumnya yang mencapai 5,71% (yoy).

“Jadi mungkin ke depan mereka mungkin akan melihat price yang menarik ini dan kondisi eksternal yang baik ini mereka mulai masuk. Itu mempengaruhi inflow, ke harga obligasi juga mulai naik,” jelas David.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan, meskipun banyak asing yang masuk ke pasar obligasi tanah air, namun tekanannya akan cenderung lebih terbatas karena lebih rendahnya kenaikan suku bunga The Fed dan BI di tahun depan.

“Tekanan di pasar SBN cenderung lebih terbatas mempertimbangkan potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS dan BI pada tahun 2023 yang diperkirakan lebih rendah dengan kenaikan suku bunga bank sentral pada 2022,” jelas Josua.

“Selain itu, ekspektasi inflasi yang cenderung melandai juga berpotensi akan membatasi sentimen negatif di pasar obligasi,” kata Josua lagi.