“Hari ini adalah hari yang menyedihkan bagi warga Afghanistan, khususnya perempuan dan anak perempuan, yang harapannya musnah ketika Taliban mengambilalih negara ini satu tahun lalu.”
Demikian petikan pernyataan Fawzia Koofi, aktivis dan politikus perempuan Afghanistan yang juga mantan anggota parlemen dan Wakil Presiden Majelis Nasional Afghanistan, dalam diskusi di CSIS – Washington DC, Senin pagi (15/8), mengenang satu tahun situasi muram pasca berkuasanya Taliban. Koofi hadir secara virtual dari Kabul.
Tanggal 15 Agustus ini tepat satu tahun pengambilalihan kekuasaan di Afghanistan oleh Taliban di tengah penarikan mundur pasukan Amerika dan koalisi sesuai perjanjian perdamaian yang ditandatangani di Doha, Qatar pada 29 Februari 2020. Hampir tidak ada perlawanan berarti dari pasukan keamanan Afghanistan yang selama bertahun-tahun telah dilatih oleh Amerika, ketika Taliban memasuki Kabul dan dalam hitungan hari menguasai kembali seluruh Afghanistan.
Kepentingan Strategis Nasional Jangka Panjang
Tetapi sebagaimana disampaikan anggota faksi Republik dari negara bagian Michigan di DPR, Peter Meijer, ada satu fenomena menarik di tengah pengambilalihan itu, yaitu ketika Taliban – yang selama ini menjadi musuh pasukan Amerika dan koalisi – justru membantu penuh penarikan pasukan dan bahkan menolong warga Afghanistan yang ingin meninggalkan negara itu. Sesuatu yang menurutnya sulit dicerna dalam peristiwa itu.
Dua puluh tahun setelah perang Amerika di Afghanistan dan satu tahun setelah pengambilalihan kekuasaan, ujar Meijer, Amerika sedianya belajar untuk tidak mengedepankan ego dan emosi, tetapi fokus pada kepentingan strategis jangka panjang.
“Kita tidak dalam posisi untuk menempatkan ego dan emosi lebih dulu. Kita harus fokus pada kepentingan nasional strategis jangka panjang, pada kompetisi diantara negara-negara adidaya. Kita perlu memahami dan tidak pernah melupakan mengapa kita pertama kali datang ke Afghanistan. Kita punya kepentingan khusus untuk memastikan agar Afghanistan tidak ambruk, agar tidak terjadi krisis kemanusiaan luar biasa yang hanya akan memberdayakan mereka yang berusaha ingin mengganggu Barat. Di lain hal, kita harus memiliki keinginan kuat untuk memastikan agar Afghanistan tidak jatuh ke tangan aktor-aktor yang secara fundamental memang tidak sejalan atau bahkan menentang Barat. Saya kira Afghanistan kini berada pada situasi yang sangat menarik,” ujarnya.
Fawzia Koofi: Jangan Biarkan Rakyat Afghanistan Berjuang Sendirian
Itulah sebabnya menurut Fawzia Koofi, yang berulangkali menerima ancaman pembunuhan, Barat seharusnya tidak meninggalkan rakyat Afghanistan berjuang sendirian. Taliban, tegasnya, harus dimintai pertanggungjawaban atas perjanjian damai yang ditandatangani di Doha, Qatar, dan memenuhi janjinya untuk tidak menjadikan wilayah itu sebagai tempat persembunyian kelompok teroris transnasional, menghormati hak asasi manusia – termasuk kaum perempuan dan anak perempuan, serta terlibat dalam proses politik.
“Barat, khususnya Amerika, harus menggunakan pengaruh mereka untuk mencapai penyelesaian politik yang dapat diterima, dengan partisipasi penuh perempuan. Selama ini Barat mengambil langkah ekstrem dengan memerangi Taliban dan kemudian menandatangani perjanjian damai dengan Taliban. Padahal ada jalan tengah yang dapat diambil, seperti dengan memberlakukan larangan bepergian terhadap Taliban, bekerjasama dengan Organisasi Kerjasama Islam OKI yang melibatkan negara-negara Teluk, Qatar, Pakistan dan lain-lain untuk meminta pertaggungjawaban Taliban atas sikap mereka saat perundingan damai dulu; serta mengupayakan penyelesaikan politik. Amerika harus menggunakan pengaruh mereka tidak saja demi rakyat Afghanistan, tetapi juga demi kepentingan mereka sendiri.”
Taliban Keluarkan 28 Perintah Eksekutif Khusus soal Perempuan
Khusus dalam hal hak-hak perempuan dan anak perempuan, Koofi mengatakan merupakan suatu hal yang menyedihkan ketika Taliban dapat mengeluarkan sedikitnya 28 perintah eksekutif yang mengatur soal perempuan dan anak perempuan – termasuk soal pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik dan lain-lain – tetapi tidak dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan, pengangguran dan krisis kemanusiaan yang semakin buruk.
Belum Ada Satu Negara Pun Akui Pemerintahan Taliban
Amerika telah menghabiskan lebih dari dua triliun dolar dalam perang di Afghanistan, memburu kelompok teroris Al Qaeda yang dinilai bertanggungjawab dalam serangan di New York dan Washington DC pada 11 September 2001 yang menewaskan lebih dari 3.000 orang; dan sekaligus upaya melatih pasukan keamanan dan membangun demokrasi di negara berpenduduk hampir 39 juta jiwa itu.
Lebih dari 6.000 tentara dan kontraktor Amerika tewas di Afghanistan selama perang 20 tahun itu.
Sejak pengambilalihan oleh Taliban pada pertengahan Agustus 2021 hingga pertengahan 2022 ini, ada sekitar 79 ribu pengungsi Afghanistan telah dimukimkan di Amerika. Ribuan lainnya masih menunggu penyelesaian dokumen.
Satu tahun setelah berkuasa, tidak satu negara pun mengakui keberadaan pemerintahan Taliban secara resmi. [em/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.