Aborsi menjadi ilegal di tiga negara bagian lain di AS pada hari Kamis (25/8). Keputusan itu semakin membatasi akses aborsi bagi jutaan perempuan, meskipun ada penolakan terhadap langkah itu dari masyarakat maupun hukum.
Dua bulan setelah Mahkamah Agung mencabut hak konstitusional warga AS untuk melakukan aborsi, hampir 21 juta perempuan kehilangan akses untuk melakukan prosedur itu di negara bagian mereka, menurut analisis harian Washington Post.
Dengan bergabungnya Idaho, Tennessee dan Texas pada Kamis dengan 10 negara bagian lainnya – yang dipimpin kubu Republik – dalam menerapkan larangan aborsi yang hampir menyeluruh, jumlah negara bagian yang akan melarang aborsi di AS diprediksi akan meningkat. Selusin negara bagian lain diperkirakan akan menerapkan aturan serupa.
Larangan aborsi di Idaho, Tennessee dan Texas “terhidupkan” setelah Mahkamah Agung AS membatalkan putusan bersejarah kasus “Roe v. Wade” tahun 1973, yang menjamin hak aborsi bagi perempuan. Sebaliknya, MA mengizinkan masing-masing negara bagian membuat aturan mengenai praktik aborsi sendiri-sendiri.
Di Texas, di bawah aturan yang baru, dokter dapat diancam hukuman penjara seumur hidup dan denda sedikitnya $100.000 (lebih dari Rp1,4 miliar) apabila melakukan aborsi. Texas dan Tennessee tidak memberi pengecualian pada kasus pemerkosaan atau inses, sementara Idaho mengecualikannya.
Pembatasan aborsi yang diberlakukan negara-negara bagian beragam, dari larangan total aborsi sampai usia kehamilan 20 minggu hingga larangan aborsi bagi kehamilan yang sudah mencapai usia enam minggu, padahal banyak perempuan bahkan tidak menyadari bahwa mereka perempuan terpaksa melakukan perjalanan ratusan kilometer untuk dapat mengakses prosedur aborsi di negara bagian lain yang mengizinkan.
Presiden AS Joe Biden, dari kubu Demokrat, mengutuk keputusan Mahkamah Agung yang didominasi oleh hakim berhaluan konservatif. Ia berjanji akan melakukan apapun dalam kewenangannya untuk menjamin akses aborsi.
Pemerintahan Biden meraih kemenangan kecil di Idaho pada hari Rabu (24/8), ketika seorang hakim memutuskan bahwa hukum federal mewajibkan dokter memberi layanan aborsi bagi perempuan yang mengalami situasi gawat darurat di rumah sakit yang menerima anggaran Medicare dari pemerintah.
Meski demikian, sebagai gambaran betapa rumitnya lansekap hukum di Amerika, seorang hakim lainnya di Texas, yang ditunjuk oleh Donald Trump, mengeluarkan keputusan yang bersebrangan untuk kasus serupa, sehingga berpotensi menimbulkan pertempuran lebih lanjut di pengadilan.
Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre menyambut baik putusan hakim di Idaho, namun menyebut putusan di Texas sebagai “keputusan yang menghancurkan perempuan di negara bagian itu, yang sekarang bisa ditolak untuk mendapatkan layanan yang sama untuk menyelematkan nyawa.”
Selain berjuang di pengadilan, kubu Demokrat juga berharap aborsi akan menjadi isu yang membangkitkan suara pemilih dalam pemilu paruh waktu akhir tahun ini.
Para pemilih AS akan menentukan siapa yang akan menguasai Kongres AS November mendatang, di mana 435 kursi DPR, 35 kursi Senat dan 36 kursi gubernur negara bagian diperebutkan. [rd/ka]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.