redaksiharian.comSelandia Baru resmi mengalami resesi teknis. Produk Domestik Bruto (PDB) negara ini turun 0,1% pada kuartal I-2023, setelah bank sentralnya memulai salah satu siklus kenaikan suku bunga paling agresif di dunia.

Resesi teknis bisa didefinisikan sebagai penurunan ekonomi atau kontraksi yang terjadi selama dua kuartal atau lebih, secara berturut-turut dalam jangka waktu satu tahun.

Dilansir CNBC, Kamis (15/6/2023), data terbaru dari Wellington menandai resesi teknis untuk ekonomi Selandia Baru, setelah melaporkan penurunan 0,7% yang direvisi pada kuartal terakhir 2022. Dibandingkan dengan setahun yang lalu, ekonomi tumbuh 2,9% pada kuartal I.

Sementara itu, berdasarkan survei Reuters, para ekonom memperkirakan Selandia Baru menandai kontraksi 0,1% kuartal ke kuartal dan pertumbuhan 2,6% tahun ke tahun. Dolar Selandia Baru turun 0,23% terhadap dolar AS setelah rilis. Saham sedikit berubah, Indeks S&P/NZX 50 diperdagangkan 0,144% lebih tinggi.

Dalam pertemuan Mei lalu, Bank Reserve Selandia Baru mengerek naik suku bunganya ke level yang tertinggi dalam 14 tahun sebesar 25 basis point (bps) menjadi 5,5%.

Kontraksi ini didorong oleh penurunan produksi dalam layanan bisnis yang turun 3,5%, dan transportasi, portal dan warehouse turun 2,2%. Selain itu, hal ini juga merupakan dampak awal Topan Hale dan Gabrielle, serta pemogokan yang dilakukan para guru di Selandia Baru.

“Cuaca buruk yang disebabkan oleh topan berkontribusi pada jatuhnya hortikultura dan layanan dukungan transportasi, serta layanan pendidikan yang terganggu,” kata manajer umum wawasan ekonomi dan lingkungan Selandia Baru Jason Attewell.

Tidak hanya itu, Selandia Baru juga mengalami kontraksi dalam perdagangan, di mana harga ekspor merosot 6,9% dan harga impor anjlok 5,4%. Di sisi lain,0 produksi sektor media informasi dan telekomunikasi serta properti masing-masing naik 2,7% dan 0,7%.