Dalam konferensi pers yang digelar Jumat (8/7) sore di Nusa Dua, Bali, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi merinci sejumlah poin penting pembicaraan yang telah berlangsung sejak pagi. Mayoritas yang didiskusikan adalah perang Rusia-Ukraina, dampak serta upaya untuk meminimalisir dampak itu.
Retno menyatakan, sejumlah peserta mengutuk invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina. “Perang telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa kepada penduduk sipil, dan ada kebutuhan untuk memastikan adanya akses yang aman dan tanpa hambatan untuk penigiriman bantuan kemanusiaan yang tepat waktu, bagi mereka yang membutuhkan,” kata Retno Marsudi.
Para menteri luar negeri negara G20 menyadari sepenuhnya tantangan besar yang dihadapi saat ini. Di tengah upaya global menempatkan pemulihan dari pandemi sebagai prioritas, dunia juga harus menghadapi dampak perang di Ukraina. Delegasi secara umum mengekspresikan perhatian yang mendalam, terhadap konsekuensi kemanusiaan dari perang. Begitu juga, dampak buruknya terhadap ketersediaan pangan, energi dan sektor keuangan.
Negara-negara G20 dan delegasi undangan juga memiliki pandangan yang sama, bahwa rasa saling percaya antar negara sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, bagi keamanan dan stabilitas. Muncul pula tekanan, agar perang dihentikan dan ditempuh resolusi konflik melalui diplomasi dan negosiasi.
Karena itulah, Indonesia memandang penting multilateralisme, sebagai salah satu jalan keluar terbaik dari persoalan global. Retno memberi contoh, kerja sama global dalam memastikan akses yang adil terhadap vaksin di tengah pandemi, adalah satu satu kisah sukses multilateralisme itu.
“Kemauan poltik dan kerja sama global penting untuk memastikan multilateralisme bisa diwujudkan dan menguntungkan semua negara,” tambahnya.
Perhatian khusus juga diberikan terhadap kenaikan harga pangan dan energi, dimana negara berkembang khususnya berpendapatan rendah dan kepulauan kecil paling terdampak.
Secara khusus, produk pangan dan pupuk dan Ukraina dan Rusia diharapkan tetap tersedia di pasar global. Pada menteri luar negeri juga mengapresiasi upaya apapun untuk membuka akses komoditas tersebut.
“Sejumlah peserta menggarisbawahi, bahwa pangan dan pupuk tidak berada dalam sanksi dan mengekrpesikan kesiapannya untuk menyelesaikan problem praktis dalam pangan dan pupuk, termasuk dalam soal pembayaran, asuransi, logistik dan lain-lain,” tambah Retno.
Seluruh menteri luar negeri anggota G20 datang ke Bali, kecuali Menlu Inggris Liz Truss yang harus pulang terkait situasi politik di negaranya. Delapan dari sembilan menteri luar negeri di luar anggota G20 yang diundang juga datang. Pemimpin dan perwakilan lembaga internasional dari PBB, WFP, Bank Dunia, ADB, IMF, WHO, ILO, OICD dan FSB juga hadir.
Komitmen Butuh Waktu
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Binus, Dinna Prapto Raharja Ph D melihat, pesan Indonesia yang disampaikan Menlu Retno, masih bersifat satu arah.
“Kesan saya keinginan Indonesia bahwa multilateralisme dijaga, ketahanan pangan dijaga, ketahanan energi dijaga, tapi respon dari negara-negara G20 yang hadir sebenarnya masih tetap dalam zoanya masing-masing. Jadi belum betul-betul terjadi dialog yang mengarah pada lanjutan yang sifatnya konstrktif atau solutif,” tegasnya kepada VOA, Jumat (8/7) malam.
Hubungan negara-negara G20, secara realistis harus dilihat sebagai situasi yang cenderung tegang. Meskipun mereka bertemu dalam satu ruangan, lanjut Dinna, masing-masing bertahan dengan sikapnya. Semua sesuai dengan narasi media yang selama ini telah muncul. Karena itulah, apa yang muncul sebagai poin pertemuan, lanjut Dinna, belum bisa dilihat sebagai sebuah komitmen yang akan dipenuhi.
China, misalnya, di tengah ajang pertemuan juga sibuk menjalin komunikasi dengan negara-negara Pasifik dan sejumlah negara ASEAN. Pernyataan China, dinilai Dinna, jelas ditujukan untuk melawan narasi Barat, dan tidak dapat dianggap membawa pesan perdamaian. Justru yang terjadi adalah eskalasi adu narasi yang cukup memprihatinkan.
“Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia, juga dalam forum G20 justru memuji-muji China sebagai satu mitra yang bisa diajak kerjasama untuk meng-counter Barat. Jadi, belum ada titik temu sama sekali,” tandas pendiri Synergy Policies ini.
Secara logika, pertemuan Presiden Jokowi dengan anggota G7, Ukraina dan Rusia yang baru satu kali, tidak bisa dianggap sebagai solusi. Pesan damai memang dimunculkan, tetapi misi damai belum dilakukan, karena misi damai membutuhkan peran banyak negara.
“Nah, ini belum kelihatan tadi, bahwa negara lain yang bukan Rusia. bukan Amerika Seirkat, bukan negara G7, itu belum kelihatan mendukung agenda Indonesia. Masing-masing jalan dengan agenda sendiri,” tambahnya.
Sejumlah pertemuan bilateral menteri luar negeri yang digelar, justru menguatkan analisa itu. Masing-masing negara, mengedepankan pencapaian jangka pendeknya.
Namun, apa yang diperjuangkan Indonesia tetap harus diapresiasi. Bukan tugas mudah bagi Menlu Retno Marsudi, mendukung tugas presidensi G20 Indonesia dalam situasi global saat ini. Kehadiran seluruh menteri G20 dalam pertemuan di Bali kali ini patut diapresiasi, begitu pula kenyataan bahwa Rusia tetap bisa bertahan di dalamnya meski wacana untuk mengeluarkannya cukup kencang. Situasi global masih pelik, dan perkembangan di Eropa terkait Ukraina akan menyedot perhatian. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.