redaksiharian.com – Pemerintah telah memulai upaya percepatan transisi kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik sejak munculnya Perpres Nomor 55 Tahun 2019 yang mengatur tentang penggunaan kendaraan listrik.
Disebutkan bahwa sampai 2025, jumlah mobil listrik mencapai 40.000 unit, bus listrik 41.000 unit, dan motor listrik 2 juta unit.
Meski begitu sampai dengan 29 Juli 2022, Kementerian Perhubungan mencatat jumlah mobil listrik baru mencapai 2.660 unit, bus listrik 43 unit, dan motor listrik 19.698 unit.
Muhammad Nur Yuniarto, akademisi dari Institut Teknologi Sepuluh November, mengatakan, harus ada lompatan yang luar biasa di segala sektor. Baik itu untuk mobil listrik, bus listrik, maupun motor listrik.
“Kalau melihat skalanya, mobil masih 15 kali lipat, dari 2.660 unit menjadi 40.000 unit. Kemudian bus listrik 1.000 kali lipat, dari 43 unit menjadi 41.000 unit. Kemudian untuk motor listrik dari 19.698 unit menjadi 2 juta unit, atau 100 kali lipat,” ujar Nur, dilansir dari Webinar Upaya Percepatan Penerapan Kebijakan Kendaraan Listrik (14/10/2022).
“Fakta ini yang kita lihat, walaupun sudah ada berbagai macam peraturan di tingkat pusat, ternyata penetrasi penggunaan KBLBB masih sangat rendah sampai saat ini,” kata dia.
Selain jumlahnya yang masih jauh dari target, produk kendaraan listrik yang sudah terserap pasar umumnya bukan rakitan dalam negeri.
Di samping itu, masyarakat pengguna kendaraan mayoritas juga belum begitu tertarik untuk beralih menggunakan kendaraan listrik walaupun sudah diberikan insentif.
“Kalau melihat realitanya, kebanyakan didominasi oleh produk yang diimpor, terutama untuk mobil listrik dan bus listrik,” ucap Nur.
“Kemudian industri otomotif yang pabrikannya berada di Indonesia, masih enggan memproduksi kendaraan listrik walaupun sudah ada berbagai macam insentif yang diberikan,” tutur dia.
Menurut Nur, sebetulnya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mempercepat penetrasi kendaraan listrik. Pertama menunggu pabrikan memasarkan kendaraan listrik, kedua melakukan konversi kendaraan listrik , atau ketiga, berfokus ke angkutan umum.
“Sehingga KPI-nya mungkin bukan cuma jumlah lagi menurut saya. Tapi ada KPI tambahan berupa pengguna kendaraan listrik per kapita,” kata Nur.
“Artinya kalau per kapita misalnya bus listrik, itu bisa mengangkut misalnya 16 orang atau mungkin yang besar bisa mengangkut 50 orang atau 100 orang. Itu bisa menjadi suatu yang cukup menarik untuk dijalankan. Itu bisa juga dipakai untuk menjustifikasi peraturan,” ujar dia.