redaksiharian.com – Akhir Juli lalu, Telkomsel melepaskan 6.000 menara telekomunikasinya ke PT Dayamitra Telekomunikasi, Mitratel, melengkapi sejumlah 16.050 menara yang dimiliki operator itu yang dialihkan kepada Mitratel sejak 2020. Ini berarti Telkomsel berubah dari pemilik menara menjadi penyewa menara, suatu hal yang kini umum di kalangan operator seluruh di Indonesia.

XL Axiata sudah sejak beberapa waktu lalu melepas semua menaranya, karena lebih fokus dalam penggelaran serat optik (FO – fiber optic) yang kini sudah mencapai 130.000 kilometer panjangnya. Demikian pula Indosat yang sempat menjual, membeli balik dan menjual kembali sejumlah menara telekomunikasinya, lebih dua dekade lalu.

Industri telekomunikasi tidak mungkin melepaskan diri dari keberadaan menara tempat mereka menaruh perangkat BTS (base transceiver station), dan perangkat penghubung lain semisal dari BTS ke MSC. Kepemilikan menara sering dianggap sebagai bagian kekuatan suatu operator, karena perannya yang sangat penting.

Di sisi lain, membangun menara tidak semudah dibayangkan, karena berkaitan dengan pengadaan lahan (sitac – site acquisition) yang semakin sulit, izin mendirikan bangunan (IMB) yang berbelit prosedur mendapatkannya, serta perawatan yang tidak murah dan mudah. Sehingga bijak kalau dikatakan, soal menara, “Serahkan kepada ahlinya”, dan fokus kepada bisnis inti saat ini, mengembangkan bisnis digital.

Seperti kata Dirut Telkomsel, Hendri Mulya Syam saat meneken penjanjian jual beli dengan Mitratel, Telkomsel makin memantapkan upaya transformasi perusahaan melalui pengembangan portofolio di bisnis digital secara konsisten. Untuk menghadirkan inovasi layanan yang lebih beragam, membuka banyak peluang bernilai tambah bagi ekosistem gaya hidup digital yang semakin inklusif di masyarakat.

Tidak ada penjelasan berapa nilai 6.000 menara yang dialihkan ke Mitratel, namun, pasar mengindikasikan harga per unit menara yang sudah berdiri sekitar Rp 1,5 miliar hingga Rp 1,7 miliar. Padahal jika dihitung biaya pembangunan menara, harga materialnya sendiri tidak lebih dari Rp 500 juta, ditambah sewa lahan yang biasanya berlaku 10 tahun sekitar Rp 400 juta, biaya IMB dan sebagainya sekitar Rp 200 juta.

Peluang dan tantangan bisnis menara

Bisnis menara membuat banyak investor tertarik memilikinya, termasuk pabrik rokok, yang berebut membuat perusahaan penyedia menara, walau saat ini sewa menara per unit per tahun hanya berkisar antara Rp 100 juta hingga Rp 120 juta. Itu semua tergantung tinggi, dan konon juga jumlah kakinya, tiga kaki atau empat kakinya, empat kaki lebih kuat sehingga dapat menampung lebih banyak BTS tenant.

Perusahaan penyedia menara umumnya tidak hanya menerima satu penyewa (tenant), paling sedikit 1,5 atau dua menara disewa tiga tenant, sehingga memperbesar pendapatan mereka. Bagi operator, melepaskan menara mengurangi beban perawatan dan keamanan menara yang ternyata tidak murah, dan malah ribet, apalagi kalau sudah bersinggungan dengan masyarakat sekitar.

Semakin aktifnya operator menjual menara telekomunikasinya lalu beralih menjadi penyewa kembali, membuat operator seluler mendapat dana ekspansi untuk fokus pada pengembangan bisnis digital ke depannya. Juga dari sisi capex – capital expenditure – biaya modal – selain mengurangi problematika menghadapi masalah sosial dalam pembangunan menara. Mungkin suatu saat nanti, semua operator malah akan menyerahkan perawatan BTS-BTS-nya kepada perusahaan lain, lagi-lagi, yang ahli pegang kendali bisnis menara.

Di kalangan operator seluler saat ini, ketika mereka merencanakan ekspansi ke wilayah yang belum mereka jamah, tidak lagi mencantumkan kebutuhan dana pembangunan menara. Semua perusahaan penyedia menara sudah ada di seluruh wilayah, bahkan sampai ke kelurahan dan desa, kecuali di beberapa yang masuk kawasan 3T (tertinggal, terluar dan terdepan), dan operator tinggal menyewanya.

Pelepasan aset menara umumnya membuat operator seluler selain mendapat dana segar juga bisa lebih fokus pada bisnis intinya, seperti dikatakan Hendri Mulya Syam. Konsisten di bisnis digitalnya, bisnis utama masa depan.

Inklusifitas konektivitas digital

Semakin fokusnya operator mengembangkan bisnis digital dan konektivitasnya, semakin pula mengakselerasi gaya hidup digital masyarakat yang dalam dua tahun terakhir mulai banyak memanfaatkan layanan dan konektivitas digital di kegiatan kesehariannya. Pandemi Covid-19 membuat masyarakat melakukan beragam aktivitas mereka dari rumah, baik belajar maupun bekerja.

Selaras dengan yang disampaikan Dirut Telkomsel Hendri Mulya Syam soal operator seluler mengalihkan bisnis menara kepada ahlinya, aksi itu diharapkan dapat semakin mendorong akselerasi penguatan struktur perusahaan yang lebih ideal. Mereka menyebutnya, memastikan tiga pilar digital yang sedang dijalankan, sebagai penyedia digital connectivity, digital platform dan digital service yang andal dan selalu relevan.

Berharap dapat mendorong akselerasi penguatan struktur perusahaan yang lebih ideal dalam memastikan implementasi tiga pilar digital yang sedang dijalankan. Sebagai penyedia digital connectivity, digital platform, dan digital service yang andal dan selalu relevan dengan perkembangan ekosistem digital yang lebih customer-centric.

Menurut Direktur Utama Mitratel, Theodorus (Teddy) Ardi Hartoko saat transaksi, pengalihan 16.050 menara akan semakin mengukuhkan posisi mereka sebagai penyedia menara terbesar di Indonesia dan salah satu terbesar di Asia Tenggara. Inisiatif ini juga jadi modal utama dalam melakukan perluasan pasar dan mendukung akselerasi implementasi jaringan 5G di Indonesia.

Pengalihan aset yang dilakukan Telkomsel kepada Mitratel mungkin bisa memperkuat momentum dalam memastikan terciptanya pengelolaan aset dan perluasan lini bisnis keduanya. Sekaligus dapat mendorong pertumbuhan kinerja perusahaan yang ideal, produktif, efektif, efisien, dan relevan terhadap setiap perkembangan teknologi ke depannya.