Hamparan ladang gandum seolah tersembunyi di salah satu sisi lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Lokasi tepatnya ada di Kebun Penelitian Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salaran, Desa Wates, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Luasnya memang hanya sekitar satu hektare, tetapi menjadi bukti bahwa tanaman ini bisa dibudidayakan di Indonesia.
Salah satu peneliti gandum dari UKSW, Dr Djoko Murdono, telah lebih dari 20 tahun berkutat dengan tanaman ini. Kepada VOA dia mengatakan, gandum mudah ditanam, tetapi kurang berkembang karena harga produknya tidak kompetitif dibanding produk impor.
“Kami sudah menghitung, kalau secara konvensional, harga jual kita tidak bisa kompetitif dengan harga internasional. Karena cara pertanian konvensional itu, melibatkan petani, mengolah tanah pakai cangkul, pakai pupuk kandang, panen pakai sabit. Sentuhan mekanisasinya masih minim,” kata Djoko.
Djoko pernah menanam gandum di lahan sepuluh hektar dengan metode konvensional, dan terbukti harga produk terlalu tinggi.
Penelitian gandum saat ini, tidak lagi berpusat pada cara membuat tanaman subtropis ini bisa tumbuh di Indonesia. Varietas yang dikembangkan para peneliti sudah membuktikan bahwa gandum juga bisa tumbuh di kawasan tropis. Konsentrasi peneliti saat ini, adalah menjadikan biaya budidaya gandum lebih rendah.
Upaya itu, antara lain ditempuh dengan mekanisasi kerja. Peran petani untuk menanam, merawat, panen dan pasca panen ditekan dengan kehadiran mesin. Sejauh ini, Djoko mampu mengolah satu hektare gandum, dengan dua petani.
Pemakaian pupuk kandang yang menyedot biaya juga dihilangkan, dan diganti dengan pupuk berbahan dasar batu bara atau humic acid. Sistem semprot kasar memakai sanchin dan tong 200 liter dilakukan, dengan penyesuaian agar dapat dimuat menggunakan traktor empat roda.
“Saya mendesain mesin tanam gandum yang terintegrasi dengan traktor roda empat. Supaya bisa budidaya skala industri, karena menanam harus cepat. Kalau memakai tenaga manusia, harus banyak. Kalau penanam sedikit, waktu tanam akan panjang. Jadi tidak efisien,” tambah Djoko.
Setiap detil dalam budidaya gandum diteliti, karena akan menentukan harga jual produk akhirnya. Langkah ini penting agar industri tertarik mengembangkan budidaya gandum skala besar. Djoko meyakinkan, sudah ada sejumlah investor yang menghubunginya, terkait bagaimana gandum dikembangkan. Lahan di Jawa Barat dan Lampung, kata Djoko, tersedia meski memerlukan pengamatan lebih dalam.
Salah satu faktor penting budidaya gandum adalah tanah. Uji coba di dua lokasi berbeda, yaitu di Kabupaten Klaten yang tanahnya berpasir dan Kabupaten Demak yang cenderung tanah liat menunjukkan hasil berbeda.
“Kuncinya di manajemen air dan tekstur tanah,” tambah Djoko.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan gandum, misalnya dengan mendorong petani sawit ikut menanamnya. Gandum bisa ditanam di lahan yang pohon sawitnya sedang diremajakan.
“Kalau sawit sedang diremajakan, kan lahannya terbuka. Kalau terbuka masalah bagi petani adalah gulma. Nah, daripada tumbuh gulma, dipakai saja untuk budidaya gandum, sementara sawitnya belum produktif,” tambah Djoko.
Tantangannya adalah pasca panen. Mesin pengolah bijih gandum belum tersedia di banyak tempat, sehingga hanya industri yang bisa mengolahnya. Sementara gandum panenan petani tidak bisa dijual langsung ke pasar, layaknya padi atau jagung.
“Kalau harga gandum internasional terus tinggi, sebenarnya menguntungkan kita, karena harga jual gandum lokal bisa mendekati biaya produksinya,”ujarnya.
Dua Puluh Tahun Riset
Indonesia sebenarnya sudah cukup lama memberi perhatian terhadap upaya budidaya gandum tropis. Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia, Kementerian Pertanian, Dr Amin Nur kepada VOA mengatakan, penelitian terkait gandum sudah berjalan sejak sekitar tahun 2001.
Lembaga yang ada di Maros, Sulawesi Selatan ini sampai sekarang menjadi pusat penyedia benih tanaman serealia, termasuk gandum. Gandum tropis adalah salah satu varietas yang dikembangkan, untuk menyesuaikan dengan iklim Indonesia.
“Memang tanaman gandum ini adalah tanaman sub-tropis. Dia membutuhkan suhu dingin selama siklus hidupnya, dikenal dengan nama vernalisasi. Ketika kita kembangkan di Indonesia, suhu, lingkungan yang cocok dengan lingkungan tropis selama ini adalah di ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut,” kata Amin.
Kekurangan yang ada adalah karena suhu dingin di Indonesia hanya ditemui di dataran tinggi. Sementara di kawasan subtropis, dataran rendah yang memiliki lahan luas, juga bersuhu dingin.
Pada ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut, gandum tropis terbukti dapat berproduksi dengan baik.
“Walaupun dia tercekam suhu tinggi, tapi dia masih bisa melakukan kompensasi dengan produksi antara 4 sampai 5 ton per hektar di ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut,” tambahnya.
Bahkan, para peneliti di Balai Penelitian Tanaman Serealia terus berupaya menciptakan varietas yang semakin tahan dengan suhu panas.
“Sekarang varietas-varietas yang kita hasilkan itu sudah ada yang adaptif di ketinggian antara 600 meter sampai 700 meter di atas permukaan laut,” ujar Amin lagi.
Ia mengatakan menciptakan varietas gandum yang tumbuh baik di ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan laut penting.
“Di lokasi ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut ada sejumlah kendala. Pertama, lahannya sempit. Kedua, bersaing dengan tanaman hortikultura yang nilai ekonomisnya jauh lebih tinggi dibandingkan ketika menghasilnya biji gandum,” kata Amin.
Jika Indonesia ingin mengembangkan gandum, yang dibutuhkan saat ini adalah dukungan kebijakan dari pemerintah. Varietas telah tersedia, teknik dan teknologi terus dikembangkan, dan hasilnya terbukti cukup baik, terutama dalam skala industri. [ns/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.