Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana dalam jumpa pers hari Rabu (6/7), mengatakan berdasarkan periode laporan 2014-2022, ada sekitar sepuluh negara yang menjadi sasaran transaksi keluar masuk dana terkait dengan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT), termasuk Jepang, Turki, Inggris, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Jerman, Hong Kong dan Australia.
Berdasarkan data yang ada, lanjutnya, ada lebih dari dua ribu kali transaksi yang masuk ke rekening ACT yang totalnya sebesar di atas Rp 64 miliar. Kemudian ada dana yang dialirkan ACT ke luar negeri lebih dari 450 kali dengan nilai sekitar Rp 52 miliar.
Ivan menambahkan jika dilihat dari jumlah dana yang dialirkan ke luar negeri minimal Rp 700 juta, terdapat 16 entitas atau individu di luar negeri yang menerima pasokan dana bantuan dari ACT. Sepuluh negara penerima dana sumbangan terbesar dari ACT tersebut antara lain Turki, Irlandia, China dan Palestina.
Dia menekankan perlunya pendalaman lebih lanjut terhadap beberapa transaksi lainnya karena diduga terkait dengan aktivitas terlarang di luar negeri, baik langsung maupun tidak langsung.
Diduga Terkait Al Qaeda, Ada Pengurus ACT Pernah Ditangkap di Turki
PPATK menemukan pula beberapa pengurus Yayasan ACT yang secara individual melakukan transaksi ke beberapa negara dan entitas di luar negeri untuk kepentingan yang masih diteliti lebih lanjut. Dia mencontohkan seorang pengurus ACT selama 2018-2019 mengirim dana hampir senilai Rp 500 juta ke beberapa negara seperti Turki, Kirgistan, Bosnia, Albania dan India.
“Kemudian ada juga salah satu karyawan (ACT) selama periode dua tahun melakukan pengiriman dana ke negara-negara berisiko tinggi dalam hal pendanaan terorisme, 17 kali transaksi dengan nominal Rp 1,7 miliar. (Besaran tiap transaksi) antara Rp 10 juta sampai Rp 552 juta,” kata Ivan.
Namun Ivan tidak menyebutkan negara-negara mana saja yang dimaksud. Dia menambahkan berdasarkan data PPATK, patut diduga ada seorang pengurus ACT yang termasuk ke dalam 19 orang yang pernah ditangkap di Turki karena terkait dengan Al-Qaeda. Turki adalah negara yang berbatasan dengan Suriah dan Irak.
Hasil penelusuran lembaganya menunjukkan perputaran uang masuk dan keluar di lembaga pengumpul dana sumbangan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sekitar Rp 1 triliun per tahun.
PPATK telah memblokir 60 rekening milik ACT. Selain itu Kementerian Sosial juga sudah mencabut izin penggalangan dana dan barang yang dilakukan oleh lembaga filantropi tersebut.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mendukung penuh langkah Kementerian Sosial yang mencabut izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang Yayasan Aksi Cepat Tanggap atau ACT.
Sufmi menilai Kemensos telah memiliki alasan yang kuat untuk mencabut izin PUB ACT karena tidak tepat sasaran dan merugikan masyarakat. Menurutnya pimpinan DPR akan meminta alat kelengkapan dewan (AKD) terkait untuk mengawasi jalannya penyelesaian kasus ACT tersebut. “Takutnya ada beberapa poin seperti izinnya sama namun terjadi penyalahgunaan, itu patut disesalkan,” ujarnya.
BNPT Serukan Warga Hanya Donasi ke Lembaga Kredibel
Belajar dari kasus penyelewengan dana donasi oleh ACT, Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwahid meminta kepada seluruh masyarakat untuk menyalurkan sumbangan, infak, dan sedekah kepada lembaga resmi dan kredibel yang telah direkomendasikan oleh pemerintah.
Khusus untuk penggalangan dana kemanusiaan bagi kepentingan di luar negeri, BNPT memperingatkan masyarakat berhati-hati dengan menyalurkan lewat lembaga resmi atau melalui Kementerian Luar Negeri agar tidak disalahgunakan untuk pendanaan terorisme.
Dia menambahkan memang ACT belum masuk dalam daftar terduga terorisme atau organisasi terorisme sehingga membutuhkan pendalaman dan koordinasi dengan stakeholder terkait dalam menentukan konstruksi hukumnya.
“Jika aktifitas aliran dana yang mencurigakan tersebut terbukti mengarah pada pendanaan terorisme tentu akan dilakukan upaya hukum oleh Densus 88, Jika tidak, maka dikoordinasikan aparat penegak hukum terkait tindak pidana lainnya,” ujar Nurwahid.
Nurwahid mengatakan untuk menentukan individu dalam lembaga bisa dikenai pasal pidana dalam undang-undang terorisme ada lima indikator, yaitu pelaku langsung, yang menyuruh melakukan, ikut serta melakukan, membantu untuk melakukan dan mendanai kegiatan terorisme.
Sorotan terhadap badan filantropi ACT mengemuka setelah munculnya laporan investigasi majalah Tempo pekan ini yang memaparkan kinerja ACT, termasuk aliran sumbangan yang masuk dan disalurkan badan ini. Aparat berwenang bergerak cepat menelusuri informasi tersebut dengan meminta keterangan dari para pengurus ACT, dan menelusuri aliran dana masuk dan keluar. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.