Polisi Papua Nugini menembak mati seorang ibu muda di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Ibu Kota, Port Moresby, menurut sebuah laporan berita, Jumat (15/7).
Sejumlah detektif bagian pembunuhan sedang menyelidiki penembakan fatal yang terjadi pada Senin lalu itu, kata sebuah pernyataan polisi.
Annaisha Max, 22, sedang menggendong putranya yang berusia 1 tahun ketika ditembak, lapor Australian Broadcasting Corp (ABC), mengutip keterangan sejumlah saksi.
“Polisi datang dengan kekuatan berlebihan. Aksi mereka tidak diprovokasi,” kata Emmanuel Kiangu, seorang pemimpin masyarakat yang berada di tempat kejadian, kepada ABC.
Polisi tidak memberi peringatan bahwa mereka akan melepaskan tembakan, menurut teman Max, Anna Koip.
”Mereka bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun. Mereka mengganti senjata mereka dengan senjata otomatis dan menembak ke arah kerumunan, di mana banyak dari kami sedang menunggu untuk memberikan suara,” kata Koip melalui seorang penerjemah.
Sejak pemungutan suara dimulai pada 4 Juli, perkelahian antara kelompok-kelompok yang bersaing pecah karena munculnya tuduhan penipuan suara.
Perdana Menteri James Marape telah meminta maaf kepada ribuan orang yang telah ditolak dari TPS karena adanya masalah dengan daftar pemilih.
Kerumunan pada hari Senin dilaporkan menjadi gelisah setelah menunggu berjam-jam menunggu pemungutan suara dimulai. Sekelompok orang berkumpul di sekitar mobil polisi menanyakan di mana kotak suara berada. Polisi meminta bala bantuan sebelum penembakan dimulai, kata ABC.
Inspektur Polisi Metropolitan Gideon Ikumu mengatakan dalam sebuah pernyataan Selasa bahwa bala bantuan polisi dikirim untuk “memulihkan ketertiban ketika kerumunan yang gaduh dan ribut mengancam akan menyerang para petugas pemilihan dan mengganggu pemungutan suara.”
”Batu dilempar ke polisi dan tembakan dilepaskan untuk membubarkan massa yang tidak tertib,” tambah Ikumu.
Ikumu mengatakan ia secara pribadi telah meyakinkan warga yang marah setelah kematian Max bahwa penyelidikan polisi akan “menetapkan bagaimana korban dibunuh dan siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya.”
“Detektif pembunuhan sekarang mengumpulkan bukti termasuk rekaman video dan pernyataan dari saksi-sanksi potensial,” kata Ikumu.
Pemilu kali ini berlangsung setelah telah tiga kali ditunda. Peter Aitsi, perwakilan Papua Nugini untuk Transparency International, sebuah gerakan global untuk mengakhiri korupsi, mengatakan pemilu itu berisiko gagal.
“Sayangnya, ini bukan pemilu yang sukses dan damai dan aman,” kata Aitsi. “Tetapi saya mendorong semua pemangku kepentingan kami di luar sana, terutama para kandidat dan pendukungnya, untuk mendukung proses, mencoba dan menyelesaikan pemilu sebaik mungkin.”
Pemungutan suara berlangsung berminggu-minggu dan komposisi pemerintahan baru _ — dengan lebih dari 50 partai memperebutkan 118 kursi — tidak akan diketahui sampai Parlemen berikutnya duduk pada bulan Agustus.
Dua pesaing utama untuk memimpin pemerintahan baru adalah Marape dan pendahulunya, Peter O’Neill, yang mengundurkan diri pada 2019.
Sejak kemerdekaan Papua Nugini dari Australia pada tahun 1975, pemilu di negara berpenduduk 9 juta jiwa itu selalu diwarnai oleh kekerasan, penipuan, dan penyuapan.
Pada awal pemungutan suara, polisi mendesak warga untuk tidak menjual suara mereka kepada salah satu dari 3.625 kandidat yang bersaing untuk pemilihan. Kandidat di Papua Nugini secara rutin membayar konstituen yang miskin untuk memilih mereka. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.