PM Sri Lanka Ranil Wickremesinghe dilantik sebagai penjabat presiden negara itu pada Jumat (15/7).
Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, mengundurkan diri setelah ia pergi ke Singapura dari Maladewa, di mana ia pertama kali mendarat setelah kabur menghindari protes marah yang dipicu oleh krisis ekonomi yang dalam. Rakyat menyalahkan pemerintahannya atas krisis ini.
Ketua parlemen secara resmi menerima pengunduran diri Rajapaksa hari Jumat.
“Mulai dari sini, kita akan melangkah untuk mengangkat presiden baru secara konstitusional,” kata ketua parlemen Mahinda Yapa Abeywardena.
Surat pengunduran diri itu dikirim ke ketua parlemen oleh Komisi Tinggi Sri Lanka di Singapura.
Meskipun Rajapaksa telah berjanji akan mundur pada hari Rabu, ia tidak mengundurkan diri lebih awal. Ini memperdalam ketidakpastian politik dan kemarahan di Sri Lanka, di mana seruan “Pulanglah Gota” telah bergaung selama berbulan-bulan.
Penundaan ini tampaknya membantu ia melarikan diri sewaktu ia masih menikmati kekebalan sebagai presiden. Singapura hanya bisa menjadi tempat persinggahan bagi pemimpin yang terpojok itu.
Kementerian Luar Negeri Singapura mengemukakan dalam sebuah pernyataan bahwa Rajapaksa telah diizinkan memasuki negara itu untuk kunjungan pribadi. “Ia tidak meminta suaka dan juga tidak diberi suaka apapun. Singapura pada umumnya tidak mengabulkan permintaan suaka,” kata kementerian itu.
Di Kolombo, para demonstran meninggalkan gedung-gedung kantor hari Kamis, termasuk kediaman resmi presiden dan perdana menteri yang telah mereka duduki selama beberapa hari.
Jam malam diberlakukan di kota itu dan tentara berpatroli di jalan-jalan, tetapi ibu kota tampak tenang sehari setelah ribuan demonstran menyerbu kantor perdana menteri menuntut agar Wickremesinghe, yang telah ditunjuk sebagai penjabat presiden oleh Rajapaksa, juga mundur.
Meskipun para demonstran sebelumnya telah bertekad tidak akan meninggalkan gedung-gedung itu sebelum kedua pemimpin tersebut mundur, mereka tampaknya telah mengubah taktik, dengan mengatakan mereka ingin gerakan mereka tetap damai.
“Dalam perjuangan rakyat seperti yang kami lakukan, momen kemenangan tidak bertahan selamanya. Sewaktu kami menduduki gedung-gedung resmi, ada arti simbolis untuk itu,” kata Chameera Dedduwage, salah seorang demonstran, kepada VOA. “Karena presiden telah meninggalkan negara ini, kita tidak perlu menunggu mereka.”
Protes rakyat menuntut pergantian pemimpin muncul di negara itu setelah ekonominya terjerumus ke dalam krisis pada awal tahun ini yang menyebabkan kelangkaan parah makanan dan BBM.
Protes ini secara umum berlangsung damai tetapi rakyat yang frustrasi menyerbu kediaman dan kantor presiden setelah Rajapaksa menolak seruan untuk mundur, membuatnya bersembunyi dan kemudian lari meninggalkan negaranya.
Para demonstran telah bertekad akan melanjutkan perjuangan mereka untuk menekan pengunduran diri Wickremesinghe, menyebutnya bagian dari sistem politik yang sama yang telah membawa negara itu ke titik kehancuran ekonomi. [uh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.