Rendi (bukan nama sebenarnya) bahagia ketika memperoleh informasi ada lowongan kerja di luar negeri melalui Facebook. Apalagi persyaratannya mudah, bisa berbahasa Inggris dan tahu cara menggunakan komputer.

Tertarik dengan tawaran menggiurkan itu, Rendi menghubungi akun Facebook yang menawarkan bekerja di bagian layanan konsumen di Kamboja. Apalagi tiket untuk berangkat ke negara itu ditanggung oleh perusahaan yang akan mempekerjakan dirinya.

Singkat cerita, Rendi akhirnya terbang ke Phnom Penh pada Mei lalu. Setibanya di sana, dia dijemput di bandar udara oleh orang yang menjanjikan pekerjaan untuk dirinya. Kemudian diantar ke perusahaan tempatnya akan bekerja, berjarak sekitar 6-7 jam dari Phnom Penh.

Ibu Kota Kamboja Phnom Penh pada 25 Agustus 2021. (Foto: AFP/TANG CHHIN Sothy)

Ibu Kota Kamboja Phnom Penh pada 25 Agustus 2021. (Foto: AFP/TANG CHHIN Sothy)

Rendi kemudian dipertemukan dengan orang diyakini sebagai calon bosnya. Dia menceritakan tempatnya bekerja itu bukan seperti perusahaan, tetapi apartemen. Setiap lantai beda perusahaan dan majikannya pun berbeda.

Di sana dibagi ke dalam tim-tim yang masing-masing beranggotakan lima orang. Tugasnya berbeda-beda; ada yang menawarkan judi online atau investasi bodong.

“Kita malah disuruh untuk menipu, investasi mata uang digital ternyata itu fintech palsu. Mereka mencari pelanggan melalui media sosial, melalui Facebook, Instagram. Ada juga aplikasi kencan,” kata Rendi.

Setelah berhasil mendapatkan calon pelanggan, maka mulailah dilancarkan pendekatan dan bujuk rayu agar mereka mau menanamkan investasi. Jika sudah mencapai target ditentukan perusahaan maka akun media sosialnya ditutup sehingga tidak dapat lagi dihubungi oleh pelanggan atau investor.

Orang-orang berjalan di depan kasino NagaWorld di pusat kota Phnom Penh, 11 Januari 2014. (Foto: REUTERS/Samrang Pring)

Orang-orang berjalan di depan kasino NagaWorld di pusat kota Phnom Penh, 11 Januari 2014. (Foto: REUTERS/Samrang Pring)

Begitu mengetahui dirinya bekerja di perusahaan investasi bodong, Rendi langsung menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh. Sejak itu, dia mulai dikucilkan oleh rekan setimnya. Beberapa hari kemudian, bapak dua anak itu dipanggil bosnya dan diberitahu tidak akan lagi dipekerjakan di perusahaan tersebut.

Rendi kemudian disuruh mengganti uang perusahaan sebesar US$ 11 ribu dalam tiga hari, meski tidak pernah menandatangani kontrak kerja. Selama tiga hari, dia dianiaya, dipukuli dan disetrum, karena tidak bisa mengganti uang perusahaan.

Kemudian pria asal Depok itu dijual ke perusahaan selanjutnya, ternyata juga investasi bodong. Rendi berusaha kabur, tetapi tidak bisa. Lokasinya dipagari pagar tinggi dan berkawat duri. Dia mendapat siksaan lebih berat dibanding penganiayaan di perusahaan pertama.

Hingga suatu malam, Rendi dianiaya lima orang dalam sebuah kamar.

“Di malam itu, saya disekap, terus saya juga diborogol. Besokannya saya dijual lagi ke orang lain yang ternyata itu adalah penampungan khusus untuk orang-orang yang akan dijual,” ujar Rendi.

Di perusahaan pertama, Rendi bekerja sekitar sebulan dan tidak menerima gaji. Di perusahaan kedua dia bekerja kurang lebih dua minggu.

Sebelum dijual ke perusahaan ketiga, Rendi berhasil kabur dari lokasi penampungan. Dia kemudian naik tuk-tuk dan dialihkan ke mobil omprengan menuju Pnom Penh. Dia tiba di KBRI Phnom Penh pada 9 Juli lalu sekitar tengah malam. Setelah menghubungi staf KBRI, petugas keamanan menyuruh dia masuk.

Buruh migran Kamboja berdiri di atas truk saat mereka tiba dari Thailand di gerbang perbatasan internasional Kamboja-Thailand di Poipet, Kamboja, Selasa, 17 Juni 2014. (Foto: AP)

Buruh migran Kamboja berdiri di atas truk saat mereka tiba dari Thailand di gerbang perbatasan internasional Kamboja-Thailand di Poipet, Kamboja, Selasa, 17 Juni 2014. (Foto: AP)

Besoknya, Rendi melaporkan kejadiannya kepada staf KBRI Phnom Penh. Ia juga komplain karena pihak KBRI tidak berupaya menyelamatkan dirinya dari lokasi penampungan setelah melapor lewat telepon. Padahal hampir tiap hari dia menghubungi KBRI dan minta diselamatkan karena mendapat penganiayaan. Pihak KBRI mengaku sudah melapor ke kepolisian Kamboja mengenai laporan dirinya.

Rendi baru dipulangkan ke Indonesia pada 2 Agustus lalu. Selama ini ia ditampung di KBRI Phnom Penh. Proses pemulangannya pun berbelit. Dia mesti merogoh kocek sendiri untuk membayar denda kelebihan izin tinggal di Kamboja, yakni US$ 510. Dia juga harus membeli sendiri tiket untuk pulang ke Indonesia. Pihak KBRI mengaku tidak punya anggaran untuk membiayai.

Rendi bukanlah satu-satunya warga negara Indonesia yang menjadi korban penipuan bekerja di Kamboja dan mendapatkan tindakan kekerasan.

Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care, Nurharsono, menjelaskan untuk mencegah perekrutan secara ilegal, Kementerian Ketenagakerjaan harus bekerja sama dengan Kementerian Desa untuk memaksimalkan peran desa dalam melakukan upaya-upaya perlindungan pekerja migran di tingkat desa.

“Desa punya wewenang memberikan verifikasi dokumen agar jelas-jelas PMI tersebut dari warga desa tersebut, kemudian ada pendataan, ada informasi mengenai tata cara bekerja ke luar negeri, mana yang resmi, PT-PT yang resmi mana, yang tidak resmi mana?” ujar Nur.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah pusat juga harus bersinergi dengan pemerintah daerah agar pemerintah-pemerintah daerah membuat balai latihan kerja di daerahnya, sehingga meningkatkan kualitas calon pekerja migran dan pemahaman mereka terhadap hukum yang berlaku di negara tujuan.

Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI dan BHI di Kemenlu. (Foto: Courtesy)

Judha Nugraha, Direktur Perlindungan WNI dan BHI di Kemenlu. (Foto: Courtesy)

Sementara itu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah mengadakan pertemuan dengan Kepala Kepolisian Kamboja pada Selasa dan Kamis lalu dengan Menteri Dalam Negeri Kamboja.

Dia menambahkan ada tiga hal yang diminta oleh Retno dalam dua pertemuan itu.

“Pertama adalah permintaan untuk bisa melakukan percepatan repatriasi para WNI yang menjadi korban penipuan online scam. Kedua, penanganan kasus-kasus serupa yang mungkin masih ada. Kita mencatat angkanya terus bertambah dari hari ke hari,” tutur Judha.

Buruh migran Kamboja tiba di gerbang perbatasan internasional Kamboja-Thailand di Poipet, Kamboja, dari Thailand, Selasa, 17 Juni 2014. (Foto: AP)

Buruh migran Kamboja tiba di gerbang perbatasan internasional Kamboja-Thailand di Poipet, Kamboja, dari Thailand, Selasa, 17 Juni 2014. (Foto: AP)

Hingga kemarin, lanjut Judha, sebanyak 129 warga Indonesia menjadi korban penipuan bekerja di kamboja telah diselamatkan oleh KBRI Pnom Penh. Retno juga mendorong percepatan perundingan mengenai nota kesepahaman terkait kejahatan lintas batas untuk mencegah penipuan tawaran bekerja di Kamboja.

Kemarin pula, 12 dari 129 warga Indonesia yang menjadi korban penipuan bekerja di Kamboja telah dievakuasi KBRI Phnom Penh dipulangkan ke Tanah Air.

Migrant Care menyatakan berdasarkan informasi yang diterimanya, masih ada sekitar delapan belas orang warga negara Indonesia yang menjadi korban penipuan bekerja di Kamboja yang terlantar sampai saat ini. [fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.