redaksiharian.com – Ibu Stres/ Foto: Shutterstock

Dream – Sosok ibu di rumah memegang peran dan tugas yang cukup banyak. Mengurus anak, memastikan seluruh anggota keluarga mendapat asupan gizi yang baik, menjaga mood anak dan suami dan seringkali hal ini membuat ibu sangat kelelahan.

Para ibu biasanya merasa tak berhak atau malah merasa bersalah ketika dirinya beristirahat. Tak hanya itu, banyak yang menganggap ibu tak boleh banyak dibantu oleh orang lain dan harus turun tangan sendiri dalam mengurus anak-anak.

Tuntutan dari lingkungan, ekspektasi tinggi atau komentar miring dari orang lain seringkali membuat ibu mengalami stres atau depresi. Untuk mengatasi hal tersebut, pada beberapa kondisi ibu membutuhkan pendampingan dari psikolog.

Audrey Susanto,M.Psi.,MSc.,Psi, seorang psikolog, mengingatkan para ibu kalau perannya begitu besar dalam keluarga. Penting untuk menjaga kesehatan mental sendiri sebelum merawat orang lain.

” Kamu tidak bisa mengisi dari gelas kosong. Kalau kamu sudah berpikir-pikir berulang kali, ‘apakah aku perlu bekerja sama dengan psikolog?’. Mothers, this is YOUR sign!,” ungkap Audrey dalam akun Instagramnya @audreytsusanto.

Kondisi Mental Ibu Tak Boleh Disepelekan

Audrey mengingatkan para ibu untuk menjaga dan merawat kesehatan mental. Pasalnya, untuk membuat keluarga di rumah bahagia, ibu perlu membahagiakan dirinya dulu.

© Shutterstock

Ia juga menuliskan beberapa tanda ketika ibu sangat butuh psikolog. Berikut kondisi dan tandanya:

– ketika ingin melakukan persiapan psikologis menyambut anak pertama- mengalami baby blues atau depresi pasca melahirkan (post partum depression)- sering tidak mampu mengontrol emosi ketika sedang berinteraksi dengan anak- memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) karena tingkat stres yang jauh lebih tinggi- merasa kewalahan menghadapi dan mendampingi anak- merasa tidak mampu terkoneksi atau bonding (membangun ikatan) dengan anak- luka masa lalu/ masa kecil yang mempengaruhi pola pengasuhan anak

Fakta Soal Kondisi Otak Ibu Saat Stres, Jadi Mudah Lupa

Dream – Banyak hal yang harus dilakukan sementara anak sangat rewel, rumah berantakan dan rencana tak berjalan sesuai rencana. Hal ini pastinya memicu stres para ibu.

Emosi pun jadi tak terkendali. Rasa lelah, sedih, marah, kecewa jadi satu dan rasanya kepala ingin ” meledak” . Dalam kondisi ini, ibu pastinya mengalami level stres yang cukup tinggi dan sering tak menyadarinya.

© MEN

Audrey Susanto, seorang psikolog profesional, memberikan penjelasan soal kondisi otak ibu saat stres. Saat begitu banyak konflik dan kondisi yang tak mengenakkan menurut Audrey ada tiga area di otak yang terkena dampaknya, dan salah satu efeknya jadi mudah lupa.

” Ada 3 area dalam otak yang terdampak. Prefrontal cortex yang fungsinya untuk berpikir, jadi lebih sulit -> ibu (dan anak) mungkin jadi lebih impulsif ketika ambil keputusan. Hippocampus yang fungsinya berhubungan sama memori, jadi lebih sulit untuk membuat dan menyimpan memori, jadi sering lupa,” tuis Audrey dalam akun Instagramnya @audreytsusanto.

Satu lagi area otak yang paling kena dampak adalah Amygdala, merupakan pusat rasa takut dan emosi. Ibu akan jadi lebih reaktif dengan pemicu stres di sekitarnya. Audrey mengistilahkannya dengan ” senggol bacok” . Saat kondisi otak demikian, sebaiknya ibu duduk sebentar untuk memahami stres yang dihadapi.

” Maka dari itu, kalau stres kita coba regulasi dulu stresnya yah, supaya nggak menimbulkan dampak-dampak negatif untuk diri, anak orang di sekitar. Koneksi di prefrontal cortex (PFC) memburuk ketika stres,” ungkap Audrey.

© Shutterstock

Stres akan menyulitkan PFC menjalankan fungsi regulasi emosi. Otak menjadi lebih impulsif, sulit merencanakan, tidak fleksibel dan berkurangnya memori. Kondisi stres juga dapat mengakibatkan penurunan volume hipocampus pada kedua sisi otak.

Otak pun lebih sulit untuk membuat, menyimpan dan mengingat kembali memori. Hal ini juga yang membuat ibu jadi sangat mudah lupa.

” Penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan fungsi amygdala. Dalam kondisi stres amygdala menjadi sangat reaktif. Ini berarti, ibu jadi sangat sensitif terhadap pemicu stres di sekitarnya,” ungkap Audrey.

Siap-siap Ayah Bunda, Anak Usia 8-12 Emosinya Seperti Popcorn Meledak

Dream – Memasuki usia yang baru dengan pengalaman dan situasi yang baru, sebagai orang dewasa kita seringkali kebingungan. Kadang juga merasa sendirian dan tak tahu harus berbuat apa.

Bayangkan hal tersebut terjadi pada anak yang memasuki usia pra remaja (tween) pada umur 8 hingga 12 tahun. Mereka sudah berpikir lebih kritis, mulai merasakan banyak emosi dari berbagai situasi. Anas Satriyo, seorang psikolog anak dan remaja dalam akun Instagramnya @anassatriyo mengungkap kalau anak di usia tersebut bisa dibilang ” ngeri-ngeri sedap” .

” Saya ingin lebih sering bahas area usia yang belum terlalu banyak dibahas di sosial media dalam Pengasuhan Anak, yaitu di Rentang usia #Tween antara 8-12 tahun yang BENERAN #NgeriNgeriSedap,” tulisnya.

© MEN

Ia menjelaskan, anak di usia 8 hingga 12 tahun sudah tidak memiliki proses emosi-psikologis seperti di usia anak, tapi juga belum masuk ke fase remaja yang seutuhnya. Di momen tersebut anak-anak mulai mengembangkan pemikiran yang lebih abstrak, terkait pertemanan, penampilan, dan isu moral.

” Di usia 11-12 tahun, semakin menunjukkan ciri khas menuju masa remaja yaitu semakin terfokus dengan minat dan dunia mereka serta semakin memperhatikan kehidupan di luar rumah,” ungkap Anas.

© Shutterstock

Masa pra remaja (tween) adalah masa transisi atau boleh dibilang krisis karena ” diri” / ” self” yang anak kita pahami di usia anak-anak, tak lagi sama.

” Mereka juga mengalami duka karena diri mereka di masa anak-anak sudah berubah,” tulisnya.

Emosinya Meledak-ledak

Anak di masa tween ini merasa bingung dengan perubahannya. Baik secara biologis, psikologis, maupun sosial. Kebingungan itu seringkali muncul pada perubahan sikapnya yang kerap mendebat, menarik diri dan membuat tak nyaman orang di sekelilingnya.

Hal tersebut, menurut Anas, membuat anak lebih sering merasa sendiri. Merasa orangtua dan sekeliling tak mengerti kondisinya.

” Buat orangtua yang sedang menghadapi anak-anak di masa tweens semoga kita mau bergandengan tangan memahami emosi kita maupun memahami dinamika emosi anak yang lagi kayak popcorn meleduk,” ungkap Anas.

Menurutnya, justru di momen inilah anak-anak makin butuh merasa dicintai oleh orangtuanya. Penting bagi ayah bunda belajar cara-cara berkomunikasi sehat dengan anak di usia ini.