Presiden Amerika Joe Biden Senin malam (2/8) mengumumkan kematian pemimpin Al Qaeda Ayman Al Zawahiri di lokasi persembunyiannya di ibu kota Kabul, Afghanistan, akibat serangan pesawat nirawak milik badan intelijen Amerika CIA hari Minggu (31/7).

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib kepada VOA, Selasa (2/8) menyerukan peningkatan kewaspadaan di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya mengingat besarnya potensi pembalasan dari jejaring Al Qaeda di Asia Tenggara. Ia mewaspadai gerakan sayap-sayap atau kelompok kecil yang berbaiat pada Al Qaeda, terutama di wilayah Thailand Selatan, Filipina dan juga Indonesia.

Selain aksi balasan dari jaringan Al Qaeda Asia Tenggara, Ridlwan juga mengingatkan potensi lone wolf atau pelaku teror seorang diri, oleh simpatisan Ayman Al Zawahiri di media online. Menurutnya penggemar Ayman dan ceramah yang disampaikannya mungkin tidak terhubung langsung dengan organisasi Al Qaeda, dan ini justru berbahaya karena lokasinya tidak mudah diketahui.

“Secara umum (serangan balasan) bisa saja dilakukan oleh sel-sel atau kelompok kelompok yang selama ini terafiliasi dengan Al Qaeda secara tidak langsung, baik misalnya di Thailand Selatan, Filipina Selatan, maupun di Indonesia. Atau yang lebih sulit dimitigasi adalah orang per orang yang secara individual meyakini atau memuja Ayman az-Zawahiri sebagai panutan mereka,” kata Ridlwan.

Perketat Keamanan

Lebih lanjut Ridlwan menjelaskan ada dua langkah yang harus segera dilakukan oleh aparat keamanan. Pertama, memastikan keamanan dan prosedural pemeriksaan rutin diperketat dan diperkuat. Kedua, melakukan identifikasi jaringan dan patroli siber terhadap kemungkinan pembicaraan yang mengarah pada rencana serangan. Kedua hal ini sedianya dilakukan segera utamanya karena bulan September-November nanti, Indonesia memiliki banyak agenda besar terkait KTT G20 yang akan dihadiri para pemimpin dan kepala pemerintahan.

Afghanistan Kembali Jadi Basis Gerakan Teror?

Taliban sudah hampir setahun memerintah di Afghanistan tetapi hingga saat ini belum satu negara pun mengakui pemerintahan mereka, termasuk Indonesia. Masyarakat internasional masih menunggu komitmen Taliban untuk memenuhi tiga janji yang disampaikan pada awal masa pemerintahannya pertengahan Agustus lalu, yang salah satu diantaranya adalah tidak menjadikan Afghanistan sebagai basis organisasi terorisme atau tempat untuk melancarkan tindakan teroris.

Ridlwan mengatakan harus ada pembuktian apakah Taliban memang benar melindungi Zawahiri. Menurutnya hal ini penting karena bisa saja Zawahiri beroperasi sendirian di Afghanistan. Jika dapat dibuktikan bahwa rumah persembunyian di mana Zawahiri tinggal memang disediakan oleh Taliban, maka Amerika dapat menyimpulkan bahwa kepemimpinan Taliban memang melindunginya. Tetapi tetap terbuka kemungkinan bahwa Al Qaeda beroperasi tanpa sepengetahuan Taliban.

Diwawancarai secara terpisah, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani mengatakan pihaknya masih mengumpulkan fakta-fakta lebih lengkap atas kejadian tersebut. Informasi ini penting untuk mengetahui apakah Afghanistan digunakan sebagai basis organisasi teroris atau tidak. “Makanya kita masih harus mencari informasi lebih lanjut,” kata Jailani.

Sementara pengamat Hubungan Internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto mengatakan Afghanistan sangat penting bagi Indonesia dalam konteks geo-strategis karena faktor ekstremisme dan terorisme di tanah air juga tidak lepas dari perkembangan di Afghanistan. “Jadi kita punya kepentingan untuk kemudian tahu secara dekat dan hubungan baik kita dengan Taliban itu bisa menjadi salah satu filter untuk menangani gejolak terorisme di domestik.

Nanto menambahkan Indonesia harus mengakui stabilitas Afghanistan di bawah Taliban akan berpengaruh terhadap stabilitas di kawasan, dan secara perlahan-lahan Indonesia sedianya mengakui pemerintahan Taliban. [fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.