redaksiharian.com – Berdasarkan data yang dihimpun, lebih dari 75 persen daerah di Indonesia sudah mengalami penetrasi internet .
Hal ini tentu dapat mempermudah masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya. Namun, perkembangan tersebut datang dengan konsekuensi lainnya, yaitu munculnya gerakan populisme politik .
Demikian mengemuka dalam acara diskusi Talkshow Sekopol: Politik dalam Diskursus Digital bertajuk Analyzing The Emergence of Digital Populism in Indonesia, yang diselenggarakan di Malang, beberapa waktu lalu.
Diskusi yang diselenggarakan Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia yang bekerjasama dengan Kominfo itu menghadirkan Dosen Ilmu Politik UB, Wawan Sobari, Politisi dan Aktivis Muda, dr. Gamal Albinsaid, Co-Founder Total Politik, Arie Putra dan Ketua Komisi 1 DPR Meutya Hafid serta Emil Dardak selaku Wakil Gubernur Jawa Timur sebagai keynote speaker.
Dalam sambutannya, Meutya Hafid mengatakan tantangannya adalah, apakah ruang digital sudah aman bagi para masyarakat untuk bersuara secara objektif.
Seringkali, Meutya Hafid mengatakan, masih adanya tindakan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu.
“Populisme harus diantisipasi baik oleh akademisi ataupun pemuda sebagai bagian dari ruang publik,” ujar politisi perempuan Partai Golkar ini.
Kata sambutan juga disampaikam oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak.
Emil mengatakan bahwa populisme mewakilkan suasana batin yang mendukung kelompok tertentu, dan kadang memiliki dampak negatif.
Sehingga sebagai pejabat publik, adalah tugasnya untuk mendistribusikan pembangunan secara merata tanpa mengfavoritkan beberapa daerah.
“Populisme tidak hanya dimaknai secara sempit, namun populisme kita adalah memastikan bahwa publik tidak ada satupun yang tertinggal,” katanya.
Sementara itu, Dosen Ilmu Politik UB, Wawan Sobari mendefinisikan Populisme Digital sebagai perilaku politik baru yang ditandai dengan penggunaan Internet sebagai bentuk partisipasi politik dan instrumen mobilisasi.
“Perkembangan teknologi digital tentu memiliki konsekuensi terhadap demokrasi. Teknologi Digital bisa menjadi pisau bermata dua, bisa membuat demokrasi semakin berkembang atau sebaliknya, yaitu backsliding democracy,” ujarnya.
Sementara itu politisi muda, Gamal Albinsaid mengatakan bahwa populisme dapat menjadi strategi politik yang digunakan politisi untuk memenangkan suara publik.
Baginya, sebagai pemuda terpenting adalah bagaimana harus membuat impact yang baik di sosial media, tidak hanya untuk ‘impress’.
Di tempat yang sama, Co-Founder Total Politik, Arie Putra, menjelaskan bahwa populisme digital yang saat ini berkembang harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin.
“Dengan semakin berkembangnya teknologi digital, maka kesempatan juga akan terbuka lebar. Sehingga pada akhirnya kita sebagai individu harus mulai dari diri sendiri untuk memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat luas,” katanya.
Kampung Melon Napote Manfaatkan Teknologi Digital dari LPPM UNIRA untuk Edukasi Pengunjung
Privacy Policy
We do not collect identifiable data about you if you are viewing from the EU countries.For more information about our privacy policy, click here