redaksiharian.com – pariwisata berukuran sedang memasuki areal parkir di depan sebuah toko factory outlet di Kota Bandung, Jawa Barat. Begitu pintu bus dibuka, satu per satu wisatawan domestik turun dan berjalan penuh semangat memasuki toko mode untuk sekadar window shopping atau sungguh mau berbelanja.
Di jalan berbeda yang sudah ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor dekat stasiun kereta api, dua bus pariwisata berukuran besar parkir di pinggir jalan. Penumpangnya telah turun menyeberang jalan memasuki sebuah toko kue terkemuka di kota yang sama.
Serbuan wisatawan untuk berbelanja di Kota Bandung seperti menegaskan pulihnya wisata belanja di kota itu. Hal serupa juga ditemukan di kota-kota lain yang menjadikan aktivitas berbelanja sebagai daya tarik wisatawan.
Motivasi wisata
Aktivitas wisatawan berbelanja kerap kali dikaitkan dengan kegiatan yang bersifat hedonistik dan rekreasi. Wisatawan tidak hanya tertarik pada lingkungan belanja yang unik dan tidak biasa, mereka juga mencari kegembiraan dan peluang untuk berinteraksi dengan masyarakat lokal saat berbelanja (Jones, 1999).
Littrell dan kawan-kawan (1994) mengidentifikasi empat gaya wisata. Pertama, etnis, seni, dan manusia; kedua, sejarah dan taman; ketiga, hiburan perkotaan; dan keempat, aktif di luar ruangan.
Dengan mengikuti empat gaya itu, Yu dan Littrell (2003) memetakan dua kategori turis, yaitu turis yang terlibat secara sosial dan turis “penonton” atau rekreasi.
Wisatawan yang terlibat secara sosial membenamkan diri dalam konteks sosial dan budaya selama kunjungan dan membuat hubungan dengan orang-orang yang mereka temui sepanjang perjalanan.
Wisatawan “penonton” menikmati kegiatan di luar ruang dan dekat dengan alam tetapi tidak menyoroti interaksi dengan komunitas lokal sebagai fokus perjalanan mereka.
Yu dan Littrell (2003) memberikan dukungan pada proposisi bahwa wisatawan yang terlibat secara sosial tertarik pada belanja yang berorientasi pada proses, sedangkan wisatawan “penonton” akan lebih memilih belanja yang berorientasi pada produk.
Perilaku berbelanja
Perilaku belanja terencana didefinisikan sebagai tindakan pembelian yang dilakukan berdasarkan niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko (Piron, 1993).
Ketika membeli produk, sebagian besar konsumen menjalani proses pengambilan keputusan yang meliputi pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian, dan evaluasi pasca pembelian.
Konsumen memutuskan apakah akan melakukan pembelian, pembelian mana yang akan dilakukan, dan di mana melakukan pembelian dengan menimbang biaya dan manfaat alternatif dengan motivasi untuk memaksimalkan manfaat.
Meskipun secara umum konsumen melalui tahapan proses pengambilan keputusan sebelum membuat keputusan pembelian, konsumen sering mengabaikan langkah-langkah tersebut dan berbelanja secara impulsif.
Pembelian impulsif terjadi ketika seorang individu merasakan keinginan yang tiba-tiba, sering kali kuat dan terus-menerus untuk melakukan pembelian yang tidak disengaja, tidak reflektif, dan segera setelah terkena rangsangan tertentu.
Pembelian tersebut tidak disengaja karena dilakukan saat berbelanja, ketika individu tidak secara aktif mencari produk tersebut, tidak memiliki rencana belanja, dan tidak terlibat dalam tugas belanja. Pembelian yang tidak disengaja muncul dari dorongan tiba-tiba untuk membeli barang tertentu saat berbelanja.
Pembelian impulsif tidak reflektif karena pembelian dilakukan tanpa melibatkan banyak evaluasi. Dorongan impulsif terhadap tindakan menghambat pertimbangan konsekuensi perilaku.
Pembelian impulsif segera terjadi. Interval waktu antara melihat barang dan membeli adalah singkat, dan keputusan untuk membeli dibuat secara mendadak.
Pengalaman belanja Wu dan Chen (2009) menemukan konsumen dipengaruhi oleh motivasi utilitarian dan hedonistik yang mereka miliki terhadap belanja dalam proses pengambilan keputusan pembelian mereka. Perbedaan antara pembeli hedonis dan pembeli utilitarian berkaitan dengan demografi, perilaku belanja, dan persepsi karakteristik pengecer (Bebin dkk, 1994 & Teller dkk, 2008).
Pembeli hedonis umum perempuan, memperoleh pendapatan individu yang lebih rendah, dan kurang berpendidikan dibandingkan dengan pembeli utilitarian (Meng dan Xu, 2010). Pembeli hedonis melakukan lebih banyak perjalanan belanja, tinggal lebih lama, mengunjungi lebih banyak toko, dan lebih tertarik karena rangsangan atmosfer dan harga.
Ketika konsumen mencari nilai hedonistik yang tinggi dari perjalanan belanja, proses belanja dan konsumsi melibatkan pengalaman fantasi, perasaan, dan kesenangan. Konsumsi hedonistik, juga disebut konsumsi pengalaman, menunjukkan aspek-aspek perilaku konsumen yang berhubungan dengan aspek multi-indera, fantasi dan emosi dari pengalaman seseorang dengan produk (Hirchman dan Holbrook, 1982).
Konsumsi hedonistik mengacu pada pengalaman, biasanya menghibur dan menyenangkan, yang konsumen miliki saat membeli, mengonsumsi, atau memproses penawaran (Belk, 1988).
Beberapa studi telah meneliti peran nilai-nilai hedonistik dalam menentukan sikap dan perilaku yang berhubungan dengan perjalanan (Kim dan Littrell, 1999). Belanja wisata, sebagai kegiatan rekreasi, diperkirakan akan dipengaruhi oleh nilai belanja hedonistik.
Dengan kata lain, perilaku belanja wisatawan merupakan campuran dari perilaku konsumsi terencana, impulsif, dan pengalaman. Memahami perilaku belanja wisatawan menjadi langkah awal untuk memanfaatkan daya beli wisatawan yang terus meningkat dan peluang-peluang lain yang terbuka lebar.