Warga penghuni bangunan di tanah yang diakui sebagai milik Pemerintah Kota Surabaya atau disebut tanah Surat Ijo, sepakat tidak akan mau membayar retribusi Izin Pemakaian Tanah (IPT) di tanah yang mereka tempati selama puluhan tahun. Penolakan itu terjadi setelah turunnya surat Menteri Dalam Negeri sebagai tanggapan atas permohonan Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) untuk menghentikan pungutan yang dianggap ilegal. Surat itu memberi tenggang selama 15 hari sejak dikeluarkan untuk mengklarifikasi pemungutan retribusi kepada warga penghuni tanah itu.
Sejak puluhan tahun menempati tanah Surat Ijo, pemilik bangunan di 48.000 persil tanah, atau sekitar 800 hektare yang tersebar di 26 kecamatan di Surabaya, harus membayar retribusi atau sewa kepada Pemerintah Kota Surabaya. Padahal mereka juga membayar pajak bumi dan bangunan yang dipungut pemerintah pusat. Yeni Tanuatmodjo, salah seorang pemilik rumah di lahan Surat Ijo mengaku keberatan harus membayar retribusi yang nilainya terus meningkat setiap tahun.
“Pertama itu tahun 1991, itu Rp54.000 per tahunnya. Sekarang, terakhir ini hampir tujuh juta. Berat sekali. Ini kita kan banyak yang menuju (digunakan) ke sosial,” katanya.
Sekretaris Jenderal Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS), Rachmat Musa Budijanto, mengatakan selama ini Pemerintah Kota Surabaya mengklaim tanah tersebut miliknya dan memanfaatkan ketidaktahuan warga dengan menarik retribusi atas tanah yang sebelumnya bukan merupakan aset mereka. Pemkot, kata Musa, justru mengajukan permohonan hak pemanfaatan lahan (HPL) kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Padahal surat Menteri Dalam Negeri pada 1 Agustus 2022, menunjukkan penarikan retribusi yang selama ini dilakukan adalah tindakan ilegal.
“Tidak sah, ilegal, karena ini kan mereka dengan mendapat SK HPL itu, mereka memperkuat dengan perda-perda, tentang retribusi ini, dan akhirnya muncul dengan Perda 1/2022, kena batunya ini. Perda Nomor 1 Tahun 2022 ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022,” katanya.
Rachmat Musa mengatakan, dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tidak dikenal istilah sewa seperti yang tertera dalam Surat Ijo. Pemerintah Kota Surabaya belum juga mau melepas tanah yang sebenarnya bukan asetnya, hingga konflik ini dibawa sampai ke tingkat pemerintah pusat.
Padahal, di Jakarta, Semarang, dan Makassar, juga terdapat kasus serupa, tetapi dapat diselesaikan. Musa berharap, pemerintahan Presiden Joko Widodo segera menyelesaikan konflik tanah yang melibatkan pemerintah di daerah dengan warganya, sebagai komitmen pemerintah dalam bidang reforma agraria.
“Pak Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/BPN yang baru, untuk menyelesaikan masalah-masalah antara tanah dengan pemerintah juga, istilahnya masalah konflik-konflik (tanah) rakyat dan pemerintah,” katanya.
Persoalan sengketa tanah tersebut sudah berlangsung sejak 1995. Yeni Tanuatmodjo berharap, konflik terkait tanah Surat Ijo ini dapat segera diselesaikan, sehingga warga dapat memiliki tanah dan bangunan yang ditinggali selama puluhan tahun menjadi status hak milik.
“Gerakan kita itu kepinginnya jadi SHM itu, titik terakhirnya, memang ini kan satu tekad, SHM, bukan lain-lainnya,” tegas Yeni. [ps/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.