Teriakan “Hentikan Perang” terdengar ketika Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, tiba di lokasi pertemuan Menteri Luar Negeri G20, di Nusa Dua Bali. Disambut hangat Retno Marsudi, dan melewatkan beberapa saat sesi berfoto, Lavrov tidak bereaksi atas teriakan itu. Sesaat kemudian, ketika melangkah menuju ruang pertemuan, teriakan serupa juga terdengar meski tidak jelas dari mana sumber teriakan tersebut.
Pada Jumat (8/7) pagi, para menteri luar negeri negara anggota G20 memulai pertemuan di Bali, dengan semua diplomat negara kunci hadir. Aroma perang Rusia-Ukraina mewarnai pertemuan tersebut, bahkan sejak sebelum acara resmi dimulai.
Menteri Retno nampaknya menghadapi tugas berat, tidak hanya untuk menyukseskan jalannya pertemuan, tetapi juga untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi seluruh pihak, khususnya negara-negara anggota G7 dan Rusia di sisi yang berbeda. Karena itulah, dalam pidato pembukaannya, Menteri Retno mengingatkan bahwa dunia menghadapi banyak persoalan, dan menunggu komitmen kebersamaan seluruh negara.
“Kita bertemu hari ini, di tengah tantangan-tantangan besar. Dunia belum pulih dari pandemi, tapi kita sudah dihadapkan dengan krisis lain, perang di Ukraina. Dampaknya dirasakan secara global pada sektor pangan, energi, dan ruang fiskal,” kata Retno.
Negara berkembang dan berpenghasilan rendah, kata Retno, adalah yang paling terkena dampak. Pertumbuhan global diproyeksikan melambat menjadi 2,9 persen pada 2022, sementara inflasi mungkin mencapai 8,7 persen untuk negara-negara berkembang.
“Saya berharap, dari diskusi kita akan menemukan cara untuk bergerak maju,” kata Retno di awal pidatonya.
Selain Rusia, para pemain kunci seperti Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga hadir dalam acara tersebut. Meski bukan anggota, Ukraina juga turut diundang, namun mengikuti sesi yang berlangsung secara daring. Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss yang sempat bertemu dengan Retno, harus mempersingkat keikutsertaannya karena pengunduran diri Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson.
“Saya mengerti bahwa banyak dari Anda telah mengambil upaya ekstra untuk menghadiri pertemuan ini. Kehadiran Anda hari ini mencerminkan dukungan Anda kepada Kepresidenan G20 kami dan persahabatan Anda dengan bangsa Indonesia. Ini juga mencerminkan komitmen Anda terhadap G20, untuk menjadikan G20 relevan dan penting,” tambah Retno.
Hadir pula perwakilan sejumlah negara kepulauan kecil seperti Pacific Island Forum (PIF) dan Komunitas Karibia (Caricom) serta negara berkembang seperti Uni Afrika. Terkait kehadiran mereka, Retno memberi alasan, “Karena di dunia yang terpolarisasi ini, kepentingan mereka juga penting dan keprihatinan mereka juga menjadi perhatian kita.”
Para menteri luar negeri akan bertemu dalam dua sesi utama. Pertama adalah penguatan multilateralisme, yang fokus pada bagaimana G20 dapat memastikan multilateralisme berperan dalam menghadapi tantangan global saat ini. Kedua adalah sesi tentang mengatasi ketahanan pangan dan energi, dan akan fokus pada bagaimana G20 dapat berkontribusi sebagai bagian dari solusi untuk krisis pangan dan energi saat ini.
Retno mengingatkan, tidak ada pihak yang dapat memecahkan persoalan itu sendiri, tantangan global membutuhkan solusi global. Semua negara, kata Retno, memiliki tanggung jawab menjaga multilateralisme dan mewujudkannya. Multilateralisme adalah satu-satunya mekanisme di mana semua negara, terlepas dari ukuran dan kekayaan, berdiri di atas pijakan yang sama dan diperlakukan sama.
“Suara semua negara, besar dan kecil, utara dan selatan, maju dan berkembang, harus didengar,” tandasnya.
“Dunia sedang memperhatikan kita, jadi, kita tidak boleh gagal. G20 harus menjadi mercusuar solusi bagi banyak tantangan global. Hanya dengan begitu G20 dapat menjadi relevan dan bermanfaat bagi dunia pada umumnya, tidak hanya para anggotanya,” ujar Retno lagi di akhir pidatonya.
Tugas Berat Retno Marsudi
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof Bambang Cipto mengakui bahwa Indonesia menghadapi situasi yang sulit dalam masa presidensi G20-nya dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang hingga kini belum berakhir.
Namun, Bambang juga meyakini terdapat dua pertanda baik yang mengisyaratkan kepemimpinan Indonesia sukses hingga pertemuan puncak. Pertama adalah diplomasi yang sudah dilakukan Indonesia beberapa waktu terakhir, baik oleh Presiden Joko Widodo maupun Menlu, melalui sejumlah kunjungan dan keterlibatan di pertemuan penting. Kedua, kehadiran delegasi pemain utama seperti Amerika Serikat, China dan Rusia secara langsung ke Bali, dalam pertemuan pada minggu ini.
“Itu merupakan satu isyarat bahwa ada keinginan dari kedua belah pihak untuk mencari solusi dalam situasi yang genting ini. Mudah-mudahan ini bisa dimainkan Indonesia untuk mencari terobosan agar kedua negara ini bisa lebih sabar menerima kenyataan dan melanjutkan pertemuan G20 pada puncaknya nanti itu bisa lebih baik,” ujar Bambang kepada VOA.
Bambang yang menerima gelar master dari Ohio State University, Amerika Serikat, ini juga mengingatkan bahwa ketegangan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Rusia sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang sejak era Perang Dingin. Sangat mustahil bagi kedua negara untuk saling memahami dan menerima langkah politik luar negeri yang diambil. Dalam situasi tersebut, Indonesia memiliki keuntungan karena posisinya yang berada di luar arena konflik.
“Walaupun sulit, kita tampaknya dihargai oleh kedua belah pihak. Baik Rusia maupun Amerika Serikat menghargai Indonesia sebagai negara yang (berada) di luar persaingan kedua negara besar itu, sehingga kita bisa mengambil sikap nonblok yang bebas aktif. Dan ini tentunya adalah satu prinsip yang bisa dimaksimalkan untuk menjembatani konflik yang tak terselesaikan ini,” tambahnya.
Seluruh pihak, lanjut Bambang, memahami bahwa harapan kedua negara bertentangan. Amerika berharap Rusia kalah dalam perang kali ini, sementara Rusia meminta Amerika menghentikan pelebaran pengaruh di kawasan Eropa. Indonesia, di sisi yang berbeda, harus meyakini bahwa diplomasi adalah cara terbaik menemukan jalan keluar. Kapasitas Retno, menurut Bambang, cukup besar untuk mengambil peran ini. Salah satu buktinya, adalah peran aktif Indonesia di Afghanistan dalam beberapa waktu terakhir.
“Harusnya, itu modal besar bagi Indonesia untuk bisa menemukan solusi. Menjadi penengah di antara dua raksasa ini. Saya berharap Bu Retno mampu memimpin pertemuan kali ini dan berhasil menemukan terobosan, dan saya optimis akan ditemukan solusi dalam pertemuan para Menlu kali ini,” ujar Bambang lagi. [ns/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.