redaksiharian.com – Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo meyakini bahwa transisi penggunaan kendaraan bermotor listrik di Indonesia akan terjadi secara alamiah dan optimal seiring dengan pemerataan edukasinya.

“Karena market itu membutuhkannya,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (6/9/2022).

Salah satu indikatornya, ada pemesanan mobil listrik yang sudah memasuki masa tunggu sampai tiga bulan sejak pemesanan pertama. Artinya, permintaan dari pasar lebih tinggi daripada suplai pabrikan.

Hanya saja memang untuk terus meningkatkan daya beli dan ketertarikan atas kendaraan listrik , khususnya roda empat, masih butuh berbagai hal yang perlu digencarkan seperti fasilitas pendukung dan insentif pembelian.

“Sekarang, animo masyarakat cukup tinggi,” kata Darmawan.

Sejalan dengan itu, PLN akan terus menggencarkan membangun ekosistemnya dengan baik dalam hal penyediaan sarana pengisian daya. Namun diakui untuk melakukannya tidak bisa sendirian.

Tetapi, juga perlu menggandeng pihak ketiga seperti berbankan, perkantoran, pasar modern alias mal, atau bahkan kedai-kedai kopi.

“Agar pembangunan SPKLU tidak hanya dari PLN saja. Lahan kami tak banyak, tidak cukup, tidak strategis, tapi pihak-pihak ketiga itu punya dan bisa diajak kerja sama,” paparnya.

Ia menambahkan, jenis kendaraan ini juga punya beragam kelebihan. Misalnya, kendaraan konvensional memakan biaya sekitar Rp 15.000 per liter dan apabila dibandingkan kendaraan listrik pada kisaran Rp 2.000 per liter.

Dari tingkat emisi karbon, kendaraan konvensional menyisihkan sekitar 2,4 kg karbon untuk setiap liter bensin sementara kendaraan listrik hanya 1,2 kg saja.

“Sementara per liter listrik emisi karbonnya sekitar 1,2 kg, turun 50 persen. Itu kalau listriknya dari batu bara. Tapi listrik kami sudah berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang porsinya akan meningkat. Jadi tentu saja penurunannya jauh lebih drastis seiring berjalannya waktu,” ujar dia.

Selain itu, Darmawan menyebut kebutuhan energi bagi kendaraan berbasis bahan bakar minyak lebih dari 60 persen harus dipenuhi dari impor.

Sedangkan listrik semuanya bisa dari domestik seperti gas, batu bara, sampai EBT. Sehingga pengurangan impor bisa lebih maksimal.