Keputusan presiden (Kepres) tentang pembentukan tim penyelesaian non-Yudisial pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu adalah upaya pemerintah memprioritaskan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan hal itu kepada VOA. Presiden Joko Widodo menandatangani kepres itu beberapa waktu lalu.
Jaleswari mengatakan bahwa jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh.
Sampai saat ini, terdapat 13 peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang belum diselesaikan berdasarkan penyelidikan Komnas HAM. Dari 13 peristiwa tersebut, sembilan peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pelanggaran HAM berat masa lalu adalah kasus-kasus yang terjadi sebelum Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM diundangkan.
Sembilan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965/1966; Penembakan Misterius 1983-1984; Peristiwa Talangsari 1989; Peristiwa Mei 1998; Peristiwa PenghilanganPaksa 1997/1998; Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999; Peristiwa Dukun Santet 1999; Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998; dan Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.
Empat peristiwa yang terjadi setelah 2000 yaitu Peristiwa Wasior 2001; Peristiwa Wamena 2003; Peristiwa Jambo Keupok 2003; dan Peristiwa Paniai 2014.
Dua Penyelesaian
Jaleswari menjelaskan dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Pengalaman di berbagai negara, tambahnya, mengajarkan setidaknya ada dua jalan yang perlu ditempuh, yaitu penyelesaian yudisial dan non-yudisial.
“Langkah penerbitan keppres pembentukan tim penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi tidak berarti menghilangkan upaya penegakan hukum atau upaya yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Keberadaan tim akan saling beriringan dalam penyelesaian kasus HAM berat,” ungkap Jaleswari Pramodhawardani.
Jaleswari menjelaskan bahwa mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, sedangkan mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban. Mekanisme ini, lanjutnya, lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban seperti hak untuk mengetahui kebenaran; hak atas keadilan; hak atas pemulihan dan hak atas kepuasan.
Menurutnya mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban untuk didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya melalui proses pengungkapan kebenaran, pemulihan, fasilitasi rekonsiliasi, memorialisasi dan lain sebagainya.
Lebih lanjut Jaleswari mengatakan komitmen terhadap pendekatan non-yudisial yang paralel dengan proses yudisial yang terus diupayakan dengan menempuh dua jalur yaitu legislatif dan eksekutif.
Bila melalui Legislatif, ungkapnya pemerintah mengajukan kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru. Sementara untuk urgensi dan kemendesakan pemenuhan hak korban dan keluarga Korban maka Pemerintah menempuh jalur Exsekutif dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu.
“Keduanya dapat dijalankan secara paralel. Mekanisme yudisial lebih berorientasi pada keadilan retributif sementara mekanisme non yudisial berorientasi pada pemulihan korban,” kata Jaleswari.
Peneliti Senior The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf menegaskan mekanisme penyelesaian yudisial dan non yudisial yang saling melengkapi itu hanya bisa dipercaya jika pada saat bersamaan presiden juga memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk memproses laporan-laporan Komnas HAM yang telah menetapkan beberapa kasus pelanggaran HAM berat.
“Sehingga pembentukan Keppres itu sifatnya melengkapi dari langkah upaya negara dalam memproses hukum secara yudisial tentang kasus-kasus pelanggaran HAM, sehingga antara proses yudisial dan non yudisial dilakukan secara berbarengan. Nah itu kemudian bisa saling melengkapi antara keduanya,” kata Al Araf.
Al Araf mengatakan Presiden Jokowi tidak cukup hanya menerima masukan dari Kejaksaan Agung yang selalu berdalih soal data dan bukti yang kurang kuat karena menurutnya investasi yang dilakukan Komnas HAM dalam laporannya soal kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah cukup sangat kuat. Permasalahnnya saat ini, kata Al Araf, Jaksa Agung tidak memiliki kemauan politik yang kuat untuk menyelesaikannya.
Untuk itu, lanjutnya, Presiden Jokowi harus bersikap tegas dan memberikan batas waktu kepada Jaksa Agung untuk menyelesaikan atau menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM soal kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dia juga mencontohkan untuk kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997/1998, DPR telah memberikan rekomendasi untuk membuat pengadilan HAM. Untuk kasus ini tambahnya pelakunya dan korbannya juga masih ada atau bisa ditemui. Permasalahnya sekarang ini ada atau tidak kemauan politik untuk menyelesaikan hal tersebut. [fw/ft]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.