redaksiharian.comJakarta, CNBC Indonesia – Sebuah video yang menunjukkan seorang pengendara mobil Toyota Fortuner merusak mobil Honda Brio di daerah Senopati, Jakarta Selatan pada Minggu (12/2/2023) tengah viral. Menurut narasi yang beredar, pengemudi Fortuner itu tampak menghalangi jalan mobil Brio, lalu membawa senjata tajam dari dalam kendaraannya untuk merusak mobil Brio tersebut.

Insiden yang menunjukkan arogansi pengemudi mobil kelas premium kerap viral di media sosial. Fenomena sosial ini seolah menegaskan korelasi hubungan antara kekayaan dan sifat arogan. Benarkah demikian?

Di Indonesia, pemilik mobil Pajero dan Fortuner kerap diasosiasikan sebagai pengendara yang pongah dan sering menerabas aturan. Ada banyak kasus di mana pengendara mobil kategori Sports Utility Vehicle (SUV) tersebut berlagak bak penguasa jalanan.

Permasalahan seperti ini rupanya bukan hanya terjadi di Tanah Air, tetapi juga di Amerika Serikat. Bahkan di sana sudah ada riset ilmiahnya.

Pada 2012, tim peneliti dari University of California memublikasikan riset berjudul “Higher Social Class Predicts Increased Unethical Behavior”. Salah satu eksperimennya adalah melihat etika pengendara mobil mewah dan non-mewah saat berkendara. Hasilnya sama-sama menunjukkan kalau pengendara mobil mewah cenderung ugal-ugalan, berani memotong jalur pengendara lain, bahkan melanggar hukum.

Lalu, apa yang mendasari perilaku seperti ini?

Peneliti gabungan dari University of Illinois dan University of California pada 2012 berhasil menemukan jawabannya. Dalam riset “Social Class, Solipsism, and Contextualism: How the Rich Are Different From the Poor” penyebab orang kaya cenderung punya perilaku buruk karena munculnya sikap egois atau fokus pada dirinya sendiri. Mereka tidak ingin menjalin relasi baik dengan orang, yang menurut pandangannya, tidak sejalan.

Biang masalah dari permasalahan ini kembali lagi pada besarnya kepemilikan sumber daya, baik uang, harta lain, atau relasi kuasa. Banyaknya sumber daya membuatnya lebih bebas meraih keinginan untuk mendapat status sosial-ekonomi.

Karena memiliki keistimewaan itu, mereka tidak takut apabila tindakannya melewati batasan norma dan etika hukum atau sosial. Sekalipun melanggar, mereka percaya punya kekebalan. Akibatnya, mereka sering merasa dirinya berkuasa.

Lain ceritanya dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurut Antony S. R. Manstead dari Cardiff University dalam “The Psychology of Social Class: How Socioeconomic Status Impacts Thought, Feelings, and Behaviour” (2018), masyarakat kelas menengah ke bawah lebih berhati-hati dalam berperilaku di masyarakat karena mereka tidak punya sumber daya besar.

Mereka sudah ruwet karena berbagai tekanan ekonomi, lingkungan, dan permasalahan hidup lainnya. Akibatnya masyarakat kelas bawah tidak ingin mencari musuh baru sebagai konsekuensi dari perilaku tidak etis. Alhasil individu kelas bawah cenderung memiliki konsep diri yang saling bergantung.

Sikap etis yang ditonjolkan dilakukan sebagai upaya membangun kerjasama untuk menciptakan hubungan yang kuat sehingga dapat memberikan keuntungan bagi sesama. Makin rendah kelas sosial, demikian hasil riset tersebut, makin besar pula empatinya.

Meski demikian, seluruh hasil riset yang dipaparkan tidak berupaya menggeneralisir. Ada banyak orang kaya aktif di kegiatan filantropis. Begitu pula tidak sedikit orang kelas menengah ke bawah yang punya sikap tidak etis.