redaksiharian.com – Krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) perlu diwaspadai bagi pengelolaan perbankan di Indonesia.

Hal ini dikemukakan oleh Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin, MBA, Ph.D.

Bangkrutnya Bank Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan Silvergate Bank dikarenakan terlalu dominan mendanai pinjaman-pinjaman ke perusahaan rintisan atau yang dikenal dengan strartup.

Berkaca dari hal tersebut, ujar Eddy, perbankan di Indonesia harus lebih selektif dalam memberikan pinjaman, baik ke perusahaan kecil maupun besar agar tak terjadi gagal di kemudian hari.

“Nampaknya bank yang bangkrut ini ingin mendapatkan return besar sehingga berani meminjamkan dana ke startup dalam jumlah besar. Karenanya bank harus berhati-hati, risiko kredit bisa terjadi di mana pun, baik perusahaan startup hingga perusahaan besar,” tutur Eddy dalam keterangan tertulis yang dikutip Kompas.com, Selasa (9/5/2023).

Meski demikian, sejauh ini krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat belum memberikan dampak langsung ke perbankan maupun kondisi ekonomi di Indonesia.

“Dampak langsung tidak ada, tapi kita harus hati-hati. Saya melihat belum ada dampak ke bank yang ada di Asia dan Indonesia tapi kita harus belajar dari peristiwa ini,” lanjut Eddy.

Terkait dengan dampak risiko kenaikan suku bunga, lanjut dia, akan mempengaruhi masuk dan keluarnya dana investasi di sebuah negara.

Terlebih, beberapa waktu belakangan bank sentral Amerika Serikat sering menaikkan suku bunga acuan bagi perbankan.

“Kenaikan suku bunga tentu tidak menarik bagi dunia bisnis. Akan tetapi naik dan turunnya suku bunga dari The Fed jadi acuan bank sentral negara lain di seluruh dunia,” papar Eddy.

Manajemen risiko perbankan

Agar tidak terjebak dalam kebangkrutan, pengelolaan perbankan penting mempraktikkan manajemen risiko dengan baik dan benar.

“Apabila perbankan tidak melakukannya dengan disiplin, maka risiko kredit, risiko kenaikan suku bunga, dan risiko likuiditas, serta risiko pasar bisa berdampak pada risiko kecukupan modal,” tutur Eddy.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus mampu mengawal stabilitas keuangan dan perekonomian nasional.

Hal tersebut perlu dilakukan agar pengelola perbankan menjalankan manajemen risikonya dengan baik agar tak terjadi krisis perbankan di Indonesia.

Tak hanya itu, KSKK juga wajib mengawal angka inflasi dan nilai suku bunga agar tidak memberatkan perbankan dan pelaku usaha.

“Saat kondisi misalnya inflasi dan suku bunga tinggi ibarat kondisi badan lagi demam, maka kita tidak bisa lari tapi hanya bisa bertahan. Bila kondisi ekonomi kita sehat atau indikator keduanya turun, maka ekonomi kita bisa berlari kencang kembali,” pungkas Eddy.