redaksiharian.com – Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka merupakan salah satu destinasi wisata sejarah sekaligus cagar budaya yang ada di daerah Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatea Barat.

Lebih dari sekadar rumah, museum ini dibangun sebagai bentuk penghormatan dan mengenang sejarah kehidupan Buya Hamka.

“Museum ini dulunya dibangun oleh ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), karena setelah Hamka keluar dari penjara, peran Hamka cukup besar dulu di Malaysia,” kata pemandu museum Dasri kepada Kompas.com, Rabu (26/4/2023).

Simak pengalaman Kompas.com ketika mampir ke Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, Rabu (26/4/2023).

Rumah Gadang yang megah di tepi danau

Jalanan menuju ke Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka kian lama kian kecil. Mulanya melewati jalan raya utama yang bisa dilalui dua mobil berukuran besar sekaligus, kemudian masuk ke jalan pedesaan yang hanya cukup dilalui satu mobil saja.

Siang itu Kompas.com bertolak dari daerah Lubuk Basung menuju Sungai Batang menggunakan sepeda motor. Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan untuk bisa sampai di Sungai Batang.

Panas siang itu cukup terik, apalagi lalu lintas di jalan utama Lubuk Basung-Bukittinggi tampak ramai lancar karena momen Lebaran 2023.

Namun hawa panas seketika berubah menjadi sejuk tatkala sepeda motor yang Kompas.com kendarai masuk ke jalanan area Sungai Batang. Jalanan yang dilalui terasa sejuk tertutup rimbunnya pohon ketika menyisi tepian Danau Maninjau.

Kompas.com berhenti tepat di pekarangan bangunan yang posisinya cukup tinggi dari jalan raya. Bentuk bangunannya mencirikan rumah adat di Minangkabau, yakni Rumah Gadang.

Siapa pun yang lewat di jalanan itu pasti tau bahwa bangunan yang Kompas.com tatap dengan sedikit mendongak ini merupakan rumah kelahiran Buya Hamka.

Selain karena keberadaan tulisan “Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka” yang terpampang besar di bagian depan, bangunan ini juga cukup dikenal sebagai wisata sejarah di sekitar Danau Maninjau.

Sebagaimana sebuah Rumah Gadang, bangunan museum ini memiliki atap bagonjong (bergonjong), posisi sedikit tinggi, dan punya ruang kosong di bagian bawah bangunan.

Bangunan museum ini umumnya dibuat dari kayu, mulai dari tangga, lantai, dinding rumah, hingga jendela.

Saat memasuki bagian dalam museum, semua pengunjung wajib membuka alas kaki supaya tetap menjaga kebersihan museum.

Siang itu pengunjung museum nampak cukup ramai, dari pantauan Kompas.com, umumnya pengunjung datang dari kalangan keluarga perantau yang menyempatkan mampir karena momen Lebaran.

Salah satunya Dewi (19), pengunjung yang datang bersama sang kakak untuk melihat koleksi di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.

“Saya ingin tahu apa isi museum ini, dan bagaimana sejarah Buya Hamka,” kata Dewi kepada Kompas.com.

Koleksi di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka

Hal pertama yang tampak saat pengunjung menginjakkan kaki di depan pintu rumah yaitu adanya dua replika kayu yang menampilkan dua sosok pemuda memakai pakaian adat Minang.

Tepat di sebelah kanan pintu masuk, terdapat ruangan berisi buku-buku, penghargaan, foto-foto Buya Hamka, hingga tongkat yang biasa dipakai oleh Buka Hamka.

Sementara di sebelah kiri pintu masuk terdapat spot yang dihiasi foto Buya Hamka lengkap dengan sepasang kursi rotan.

Beranjak ke bagain kanan spot foto, terdapat sebuah kamar tidur berisi tempat tidur, lemari kaca berisi pakaian kebesaran Buya Hamka, dan etalase penyimpanan baju serta syal milik Buya Hamka. Kamar tidur ini milik orangtua Buya Hamka, yakni H. Abdul Karim dan sang istri.

Layaknya kamar tidur yang digunakan masyarakat pada zaman dahulu, ranjang yang digunakan dihiasi kelambu berwarna putih, lengkap dengan sepasang bantal dan selimut.

Di sebelah tempat tidur terdapat pakaian berupa gamis dan pakaian batik yang kerap digunakan oleh Buya Hamka saat menghadiri acara tertentu.

Saat Kompas.com sampai di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, sayang sekali listrik sedang padam, sehingga tidak ada cahaya tambahan dari lampu yang memumpuni untuk melihat dengan jelas seluruh isi kamar.

Usai melihat bagian dalam rumah, Kompas.com kembali berpindah ke bagian halaman museum yang langsung menyuguhkan pemandangan Danau Maninjau.

Sayangnya, Kompas.com tidak bisa terlalu lama di museum, mengingat langit sore itu tampak mulai gelap dan satu dua rintik hujan mulai berjatuhan.

Namun, setidaknya kunjungan singkat sore itu kembali menambah pengetahuan Kompas.com tentang pentingnya keberadaan sebuah museum sebagai tempat hidupnya sejarah orang yang sudah tiada sekalipun.