redaksiharian.com – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Tiola Allain menilai pertumbuhan aktivitas digital perlu diimbangi dengan efisiensi energi pusat data agar tidak mempengaruhi kondisi lingkungan.
Menurut dia, saat ini penyimpanan informasi digital di pusat data berpotensi memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap lingkungan karena menggunakan sumber energi yang besar.
“Penyimpanan dan pemrosesan informasi digital dilakukan di pusat data atau data center yang dalam operasinya membutuhkan sumber energi yang besar,” kata Tiola dalam pernyataan di Jakarta, Rabu.
Lulusan S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University ini memaparkan pusat data berkapasitas 1 MW saja membutuhkan energi setara dengan listrik untuk seribu rumah. Fasilitas ini juga membutuhkan 26 juta liter air setahun untuk mendinginkan mesin-mesin yang mudah panas.
Sementara itu, pesatnya aktivitas digital di Indonesia bisa mendongkrak pertumbuhan pusat data hingga 20 persen per tahun. Oleh karena itu, pemerintah merencanakan pembangunan empat pusat data nasional dengan kapasitas masing-masing mencapai 40 MW pada 2026.
“Mengingat pesatnya tren ini, penting bagi Indonesia untuk menerapkan praktik pusat data berkelanjutan untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan,” ujarnya.
Tiola pun mengharapkan adanya perumusan bersama antara pemerintah dan industri terkait rencana operasional pusat daya yang ramah lingkungan, berikut mekanisme pelaporan yang memadai. Saat ini kewajiban pelaporan pemakaian energi hanya berlaku bagi pengguna listrik di atas 70 GWH setiap tahun.
“Pemerintah dapat membuat mekanisme khusus supaya para pengelola dapat melaporkan konsumsi energi secara berkala, paling tidak setiap tahun. Laporan konsumsi energi juga harus bisa diakses publik,” katanya.
Pemerintah, lanjut dia, juga perlu mewajibkan pengelolaan pusat data yang efisien dan hemat energi. Di Singapura, misalnya, pusat data wajib memenuhi rasio Power Usage Effectiveness (PUE) hingga 1,3. Rasio PUE 1 menjadi yang patokan efisiensi energi yang ideal.
“Kewajiban tersebut akan memaksa operator untuk mendesain dan mengelola pusat data seefisien mungkin. Langkah ini dapat dimulai dengan pemakaian peralatan hemat energi sehingga konsumsi listrik maupun biaya operasional bisa ditekan,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah harus mendukung pengelola pusat data untuk menggunakan energi dari sumber-sumber yang lebih ramah lingkungan. Saat ini, baru beberapa pusat data di Indonesia yang memperoleh Sertifikat Energi Terbarukan (REC). Sertifikat yang diterbitkan PT PLN ini menjadi bukti suatu pelanggan menggunakan energi terbarukan untuk fasilitas mereka.
“Pemakaian sertifikat ini dapat diperluas ke berbagai pelanggan. Jika perlu, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi pengelola data center yang menggunakan energi terbarukan,” tegasnya.
Di Indonesia, tercatat saat ini terdapat 94 pusat data dengan kapasitas listrik hingga 727,1 megawatt (MW). Pertumbuhan pusat data di Indonesia menjadi lebih cepat karena Singapura, sebagai pasar pusat data terbesar di Asia Tenggara, membatasi pembangunan pusat data baru karena pertimbangan dampak lingkungan.