Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan anggota pemerintahannya menghindari penggunaan kata “resesi” dalam menggambarkan kondisi ekonomi AS saat ini. Namun, sejumlah politisi dari partai oposisi dan beberapa pakar ekonomi mengatakan bahwa ekonomi AS kini sudah memenuhi definisi dari resesi.

“Kita baru beranjak dari pertumbuhan ekonomi bersejarah tahun lalu, dan memulihkan semua lapangan pekerjaan di sektor swasta yang hilang selama krisis pandemi COVID-19, tidak mengherankan jika ekonomi kini melamban di saat Bank Sentral bertindak untuk menurunkan inflasi,” kata Presiden Biden dalam sebuah pernyataan tidak lama setelah Departemen Perdagangan AS merilis data pada Kamis (28/7) pagi.

Data tersebut memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS telah menyusut selama dua kuartal berturut-turut, sebuah tolok ukur tradisional untuk menggambarkan kondisi resesi.

“Tetapi meskipun kita menghadapi tantangan global yang bersejarah, kita berada di jalur yang tepat dan kita akan mengatasi peralihan dan muncul lebih kuat dan lebih aman,” tambah Biden dalam pernyataannya.

Produk Domestik Bruto (PDB) AS menyusut sebesar 0,9 persen pada periode April hingga Juni, demikian menurut Biro Analisis Ekonomi dari Departemen Perdagangan. Penyusutan ini menyusul penurunan sebesar 1,6 persen yang tercatat dalam kuartal pertama tahun ini.

“Lazimnya, kita saat ini berada dalam resesi, karena kebanyakan orang berpendapat bahwa resesi ditandai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut, dan itu yang kita hadapi (saat ini),” kata Desmond Lachman, seorang ahli ekonomi di Lembaga American Enterprise (AEI) kepada VOA.

Sentimen konsumen “kini mencapai titik terendah di mana mereka bergelut dengan inflasi yang tinggi, gaji yang berkurang, dan juga banyak dari mereka yang kehilangan uang di pasar saham. Jadi konsumen tidak merasa nyaman dengan kondisi ekonomi (saat ini),” kata Lachman.

Sejumlah anggota Partai Republik di Kongres AS secara cepat mengirim cuitan di Twitter setelah data tersebut dirilis dan mendeklarasikan bahwa AS kini berada dalam resesi.

“Demokrat telah menjerumuskan kita ke dalam resesi,” kata Senator Ted Cruz, anggota dari komite ekonomi gabungan di Senat AS.

Inflasi di AS mencapai 9,1 persen pada bulan lalu, sebuah catatan tertinggi dalam empat puluh tahun terakhir. Bank Sentral telah menaikkan suku bunga pada Rabu (27/7) sebesar 0,75 persen, untuk menjinakkan kenaikan harga, tetapi beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa langkah itu akan memicu resesi.

“Masalah dengan Fed (Bank Sentral.red) adalah mereka mengambil tindakan yang terlalu lemah dan terlalu lambat,” kata Lachman. “Pada saat mereka menaikkan suku bunga pada awal bulan ini, inflasi sudah menyebar, dan lajunya mencapai yang tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Hal yang sama kini terjadi. Fed terus menaikkan suku bunga, meskipun tanda-tandanya jelas bahwa ekonomi tengah melamban.”

Lachman adalah seorang mantan pejabat IMF, dan dia mencatat tindakan Bank Sentral AS telah menyebabkan banyak perekonomian negara-negara berkembang mengalami tekanan akibat mengalirnya modal dan dana dari sejumlah negara tersebut ke AS, dan nilai mata uang dolar yang kuat akan mempersulit negara-negara itu untuk mendanai defisit neraca pembayaran mereka.

“KJika ekonomi AS melamban, hal itu berarti pasar ekspor untuk negara-negara berkembang tidak lagi sekuat sebelumnya. Jadi kita (saat ini) menyaksikan kesulitan yang dialami negara berkembang hingga akhir tahun ini. Namun, kemungkinan (kondisinya) akan membaik pada tahun depan, jika Fed menghentikan upaya untuk menaikkan suku bunganya, dan mulai menurunkan suku bunga,” demikian proyeksi Lachman.

“Sasaran kami adalah menurunkan inflasi, dan menciptakan sebuah pendaratan yang lunak, yang saya maksud adalah pendaratan yang tidak mengakibatkan sebuah peningkatan pengangguran secara signifikan,” kata Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell, kepada reporter pada Rabu. “Kami paham itu hal yang tidak mudah, dan semakin sulit akhir-akhir ini.” [jm/ps]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.