Pemerintah kemungkinan akan menaikkan harga bahan bakar sebesar 30 persen hingga 40 persen untuk mengatasi tekanan fiskal akibat anggaran subsidi yang membengkak, kata tiga anggota Komisi VII DPR RI kepada Reuters, Jumat (26/8).
Informasi itu didapat dari pertemuan tertutup dengan perusahaan minyak negara Pertamina PERTM.UL awal pekan ini, kata mereka.
Ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini telah melipatgandakan alokasi subsidi energi 2022 dari anggaran awalnya menjadi 502 triliun rupiah ($33,90 miliar), sekitar 16 persen dari total rencana pengeluaran, di tengah kenaikan harga minyak global dan depresiasi rupiah.
Pemerintah mengatakan lebih banyak dana dibutuhkan untuk subsidi tahun ini jika harga bahan bakar tidak dinaikkan.
Opsi yang disukai Pertamina adalah menaikkan harga bensin beroktan 90 menjadi Rp 10.000 (67,5 sen AS) per liter dari Rp 7.650; bensin beroktan 92 menjadi Rp 16.000 per liter dari Rp 12.500; dan solar menjadi Rp 7.200 per liter dari Rp 5.150, kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno dalam wawancara, Jumat (26/8).
Komisi VII, salah satu dari sebelas Komisi DPR RI, memiliki lingkup tugas di bidang energi, riset dan teknologi, dan lingkungan hidup. Pertamina juga mendukung penerapan beberapa pembatasan penjualan seperti melarang beberapa kendaraan membeli bahan bakar bersubsidi, katanya. “Kami menganggap ini (menaikkan harga dan membatasi penjualan, red) paling tidak merugikan masyarakat,” kata Eddy.
Kenaikan harga diperkirakan menambah sekitar 1,9 poin persentase pada tingkat inflasi 2022, kata Eddy.
Inflasi Indonesia mencapai 4,94 persen pada bulan Juli, tertinggi dalam tujuh tahun, bertahan jauh di bawah tingkat yang terlihat di negara-negara yang lebih maju, sebagian besar karena subsidi bahan bakarnya.
“Kami berupaya menjaga inflasi di level tujuh persen hingga akhir tahun,” kata Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto. Bantuan tunai akan diberikan untuk meredam dampak kenaikan harga bahan bakar terhadap daya beli masyarakat miskin di Indonesia, tambahnya.
Irto Ginting, corporate secretary Pertamina Patra Niaga, unit distribusi eceran Pertamina, menolak berkomentar tentang usulan kenaikan harga tersebut, dengan mengatakan bahwa keputusan harga adalah keputusan pemerintah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pada konferensi pers terpisah bahwa pemerintah masih mempelajari potensi perubahan kebijakan harga bahan bakar.
“Presiden meminta kami untuk menghitung dengan hati-hati agar dapat memilih alternatif yang terbaik,” katanya, menolak untuk memberikan rincian tentang kenaikan yang diusulkan dan mengatakan keputusan tidak mungkin diambil pekan ini.
Inflasi yang relatif rendah di Indonesia telah memungkinkan bank sentral menunda menaikkan suku bunga acuan sampai pekan ini, jauh di belakang negara-negara lain.
Beberapa ekonom mengatakan kenaikan suku bunga acuan 25 basis point Bank Indonesia, yang pertama sejak 2018, adalah untuk mendahului pengumuman kenaikan harga bahan bakar.
Opsi-opsi lain yang sedang dipertimbangkan adalah menetapkan harga bensin beroktan 90, bahan bakar paling populer di Indonesia, pada Rp 9.500 per liter dan bahan-bahan bakar lainnya juga di bawah titik harga pilihan Pertamina, kata Eddy. Tingkat harga yang dipertimbangkan tetap di bawah biaya produksi kilang, sehingga menyiratkan masih adanya subsidi.
Arifin juga mengatakan pada hari Jumat bahwa biaya produksi dan pengiriman bahan bakar beroktan 90 sekitar Rp 17.200, lebih dari dua kali lipat harga yang disubsidi saat ini, dan biaya solar berada pada Rp 17.600, lebih dari tiga kali lipat harga yang disubsidi. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.